“Om, kantornya koq tutup terus. Kita mau beli pulsa, nih.”
Itulah komentar tetangga di sekitar kantor yang saya kontrak di bilangan Petak Panjang, Pisangan Lama III, Kel Pisangan Timur, Kec Pulogadung, Jakarta Timur.
Memang, ketika itu yang jual pulsa elektrik baru saya pada radius 500 meter (2008).
Tentu saja saya kaget mendengar keluhan tetangga tsb., karena kantor sudah buka pukul 07.00 dan tutup pukul 18.00 Senin-Sabtu.
Tapi, kata mereka tiap hari tutup. ”Ye, kami ’kan lihat, Om, kantornya gelap.”
Bagian depan kantor adalah kaca dan itu hanya berjarak 1,5 meteri dari jalan raya.
Saya semakin bingung karena tiap hari, kalau tidak ke luar kota, saya selalu ada di kantor itu. Dan papan berisi tulisan: foto copy dan jual pulsa elektrik setiap hari di pajang di depan kantor.
Ketika itu sama sekali saya tidak terpikir untuk mengaitkannya dengan serangan santet (id.wikipedia.org: upaya seseorang untuk mencelakai orang lain dari jarak jauh dengan menggunakan ilmu hitam) yang bertubi-tubi terhadap saya dan putri saya.
Selain itu setiap pagi yang menjaga konter pulsa dan foto copy selalu melaporkan ada kehilangan uang selembar: lima ribuan atau sepuluh ribuan.
”Kalau mau pakai, bilang saja tidak.” Itu yang saya katakan kepada yang menangani pulsa dan foto copy. Tapi, dia mengatakan tidak mengambil uang tsb.
Sampai pada tahap ini pun saya belum mengaitkannya denga hal-hal yang mistik (KBBI: hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa).
Saya sering memesan anyaman mendong (sejenis rumput, suku Cyperaceae) untuk tas tempat kit workshop kepada seorang teman pengusaha bordir dan anyaman di Tasikmalaya, Jabar. Suatu hari saya cerita tentang santet yang menyerang saya.
Rupanya, dia pun korban santet bahkan usahanya hancur. Ketika saya memesan tas mendong itu dia baru bangkit dari keterpurukan. Melalui teman itulah kemudian saya mengenal, sebut saja Pak Haji, ’orang pintar’ di sebuah desa di Kota Banjar, Jabar.
Pak Haji pun dibawa teman tadi ke rumah di bilangan Pisangan Lama, Jakarta Timur. Dia menggulirkan beberapa butir telur ayam. Telur berjalan mengikuti alur tertentu. Pada jalur yang dilalui telur keluar berbagai macam benda hidup dan mati: serangga, beling, bungkusan yang dibalut kain putih (kain putih ini kain kafan mayat yang mati karena bunuh diri). Itu semua mencuat dari lantai keramik. Tentu saja tidak masuk di akal tapi itu fakta.
Malam harinya Pak Haji menjalankan serangkaian amalan di kantor saya. Sama sekali saya tidak menceritakan perihal keluhan tetangga tadi.
Setelah salat Subuh, Pak Haji memanggil saya (kantor bersebelahan dengan rumah kontrakan saya).
Astaga! Pak Haji menunjukkan lima buah tanah berbentuk bekas genggaman tangan. Setiap tanah warnanya berbeda sehingga ada lima warna, al. merah, hitam, dst.
”Ini tanah adalah bantal mayat di liang lahat,” kata Pak Haji.
Saya hanya bisa mengurut dada dan berserah diri kepada-Nya.
Lalu Pak Haji minta kaleng. Saya ambil kaleng bekas roti kering.
Pak Haji menempelkan telapak tangan kanannya di atas kaca di meja kerja saya.
Lagi-lagi astaga! Seiring dengan gesekan telapak tangah Pak Haji muncul tanah berwarna hitam dari balik kaca. Di tengah meja tangan Pak Haji seperti dilem.
Pak Haji kaget karena tangannya tidak bisa digerakkan. Setelah dia membaca beberapa ayat tangannya pun bisa digerakkan. Kaleng roti itu penuh tanah.
Saya memakai kursi putar. Suatu hari sebelum Pak Haji datang, salah satu kaki kursi patah.
”Praakkkk.”
Dagu saya hampir membentur meja karena salah satu kaki kursi patah. Untunglah saya cepat meletakkan lengan sehingga dagu saya tertahan di lengan. Tidak ada bekas retak di kaki kursi tsb.
Tanah itu dikenal sebagai tanah pamuragan yaitu tanah kuburan dari sebuah kuburan di wilayah Cirebon, Jabar. Tanah bantal mayat dan tanah kuburan itu dikirim dengan kekuatan gaib.
Tanah-tanah itu tujuannya dua, yaitu: (1) nyawa melalui kecelakaan, dan (2) menguras harta benda melalui pesugihan.
Alhamdulillah saya sehat-sehat, tapi usaha saya habis. Bangkrut. Sedangkan uang yang sering hilang, rupanya digasak tuyul.
Pak Misbah, ’orang pintar’ di Cilegon, Banten, yang juga mengobati saya pernah menolong beberapa pedagang yang juga korban tanah pamuragan.
”Pak Haji, kiosnya koq tutup.” Itulah yang diucapkan orang-orang yang biasanya jadi langganan kios itu ketika lewat di depan kios Pak Haji tadi di sebuah pasar di Jakarta Barat.
Pak Haji, yang punya kios, mendengar dan melihat orang yang lewat dan ngomong tadi. Tapi, yang lewat melihat kios tutup.
Begitu pula dengan seorang ibu, pedagang nasi di sebuah pasar di Banten. Di jejeran kios pinggir jalan itu ada beberapa yang jualan nasi. Kios ibu tadi paling banyak pembelinya.
Suatu saat kios ibu tadi sepi. Tak satu pun ada pembeli. Setelah berlangsung seminggu itu tadi mencari ’orang pintar’ dan ketemu dengan Pak Misbah. Rupanya, ada di antara dereta kios itu yang mengirimkan tanah pamuragan ke kios ibu tadi.
Dengan izin-Nya melalui bantuan Pak Misbah kios Pak Haji dan ibu tadi berangsung-angsur mulai ramai lagi.
Selain bantuan ’orang pintar’ dengan ’ilmu putih’ korban tanah pamuragan bisa juga diatasi dengan ritual ’ilmu hitam’ yaitu dengan tanah kuburan juga dari tempat yang sama. Tapi, ada ritual tertentu setiap malam Jumat dengan sesaji terentu pula.
Tapi, saya memilih ’ilmu putih’ walaupun hasilnya tidak secepat ’ilmu hitam’.
Korban tanah pamuragan sangat sulit ’disembuhkan’. Dan, itu terjadi pada saya.
Melalui doa kepada-Nya saya berharap ada balasan kebaikan pada saya sebagai korban kemusyrikan dan ganjaran kepada orang-orang yang membayar dukun santet untuk mengirim tanah pamuragan itu sebagai orang-orang yang musyrik. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H