Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Stigma dan Diskriminasi dalam Penanggulangan HIV/AIDS

22 Mei 2012   12:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:58 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13376885051530667644

Utusan Khusus untuk HIV/AIDS di Asia Pasifik, Dr Nafis Sadik, melihat bahwa stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terkena HIV dan kelompok tertentu seperti pekerja seks, pengguna narkoba, homoseksual dan waria, tetap menjadi penghambat yang membatasi upaya pencegahan, pengobatan, perhatian dan upaya pendukung lainnya terhadap HIV (detiknews.com, 21/5-2012).

Pencegahan sebagai upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru merupakan upaya penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan di hulu.

Insiden infeksi HIV baru terutama terjadi pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Dalam kaitan ini tidak ada stigma dan diskriminasi karena laki-laki ’hidung belang’ sama sekali tidak mengalami stigma dan diskriminasi.

Sedangkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi setelah orang-orang tersebut terdeteksi HIV/AIDS di hilir.

Maka, jika dikatakan stigma dan diskriminasi menghambat dan membatasi upaya pencegahan penularan HIV tentulah tidak benar karena insiden infeksi HIV baru terjadi sebelum seseorang terdeteksi HIV/AIDS sehingga tidak ada stigma dan diskriminasi.

Jika tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka biar pun seseorang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS mendapatkan stigma dan diskriminasi mereka sudah siap. Dalam konseling sebelum tes ada kesepakatan bahwa jika kelak terdeteksi mengidap HIV, maka mereka akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS sehingga tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV kepada orang lain. Mereka ini sama sekali tidak mengalami stigma dan diskriminasi.

Stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang menjadi penghalang bagi sebagian orang untuk menjalani tes HIV.

Stigma dan diskriminasi justru terjadi karena informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan selama ini tidak akurat karena dibumbui dengan moral.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, dan homoseksual. Akibatnya, masyarakat membenturkan orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan stigma dan diskriminasi.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, dan homoseksual.

Yang perlu dilakukan adalah memupus stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan HIV.

Selain informasi HIV/AIDS yang tidak akurat karena dibalut dengan moral, dalam peraturan daerah (perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pun pencegahan selalu dikatikan dengan moral serta ’iman dan taqwa’.

Pengaitan itulah yang mendorong stigma dan diskriminasi karena dikesankan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS adalah orang-orang yang tidak bermoral dan tidak mempunyai ’iman dan taqwa’.

Hanya dengan informasi HIV/AIDS yang akurat dan tidak dibalut dengan moral penanggulangan HIV/AIDS bisa dilakukan karena masyarakat akan memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis bukan sebagai mitos. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun