Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money

SKK Migas Mengelola Industri Hulu Migas Untuk Pundi-Pundi Negara

10 April 2015   13:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14286478611787282707

Setiap kali kita mengisi BBM (Bahan Bakar Minyak) ke motor atau mobil di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) banyak di antara kita yang tidak berpikir jauh nun ke hulu. Mengisi bensin, premium atau solar ke kendaraan bermotor ada di hilir dari rentetan panjang perjalanan industri migas (minyak dan gas bumi).

Tidak sedikit pula orang yang berpikir bahwa industri migas bergelimang uang karena hanya dengan menyedot minyak mentah dari perut bumi melalui sumur bor lalu diolah di pabrik untuk mengurai minyak mentah jadi premium dan solar. Padahal, tidak semudah yagnkanng dibayangkan banyak orang.

Seperti dikatakan oleh Rudianto Rimbono, Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pada acara “Kompasiana Nangkring bareng SKK Migas: Peningkatan Peran SDM dan Industri dalam Negeri dalam Kegiatan Hulu Migas” di Jakarta (31/3-2015). Industri hulu migas penuh dengan risiko. Misalnya, biaya eksplorasi saja bisa menghabiskan uang 300 juta dolar AS (sekitar Rp 3,6 triliun). Uang ini akan habis terbuang sia-sia kalau sumur yang dibor tidak menghasilkan minyak. “Ini yang tidak dilihat masyarakat,” kata Rudianto.

Pendapatan Negara

Celakanya, pemerintah pun terkesan tidak melindungi perusahaan-perusahaan yang bergerak di hulu dalam rentang industri migas yang disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Misalnya, perizinan sering memakan waktu yang lama sehingga memerlukan enegi yang besar. Diperlukan 430-an izin hanya untuk melakukan eksplorasi. Sudah bisa dibayangkan waktu dan uang yang harus dikeluarkan untuk melewati 340-an meja hanya untuk sebuah paraf atau tanda tangan.

Waktu yang lama dalam mengurus izin menguras tenaga dan dana sehingga memperlambat kegiatan eksplorasi. Pada gilirannya hal ini akan berimbas pada cadangan BBM secara nasional, sehingga kran impor pun harus dibuka. Ini lagi-lagi menyedot dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015 yang diajukan oleh pemerintah, misalnya, asumsi lifting minyak 849.000 barel per hari/bph (detiknews, 28/1-2015). Tapi, realisasi produksi minyak mentah nasional pada kuartal I/2015 hanya mencapai 767.000 barel per hari. Ini di bawah target APBN-P (katadata.co.id, 7/4-2015).

Dengan rangkaian dan rentetan perizinan yang sangat panjang dan tingkat keberhasilan eksplorasi yang tidak tinggi tentulah target tsb. sulit tercapai jika kegiatan pengeboran sumur baru tidak banyak.

Padahal, dukungan pemerintah agar eksplorasi dan eksploitasi migas lancar tertuang dalam UU RI No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada Pasal 3 disebutkan: Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan:

e. meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia;

f. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Dengan rantai yang panjang untuk hanya untuk mengurus izin saja tentulah tujuan UU ini akan terhalang, terhambat, bahkan terbengkalai. Sebuah perusahaan yang akan melakukan ekplorasi di lepas pantai di kawasan selatan Provinsi Papua, misalnya, terpaksa berpangku-tangan dulu karena izin belum lengkap. Pada saat yang sama pengeboran di arah timur Papua di juga di lepas pantai yang masuk kawasan Papua Niugini sudah memuncratkan minyak mentah. “Bisa jadi mereka menyedot minyak kita kalau terlambat dieksplorasi,” kata seorang karyana di perusahaan KKKS berkelakar.

Itu kondisi ril di Indonesia. Padahal, semburan minyak mentah dari perut bumi bisa jadi hanya mimpi belaka ketika sumur yang dibor sama sekali tidak memuncratkan minyak mentah. Itu artinya 300 juta dolar AS melayang. Maka, amatlah tidak masuk akal kalau kemudian ada yang mempersoalkan pembagian hasil antara penerintah dan perusahaan yang berhasil melakukan eksploitasi sumur melalui kontrak kerja sama (KKS) yaitu 25 : 75 persen sebagai kondisi yang tidak seimbang.

Sebagai perbandingan di kawasan Timur Tengah perbandingan tsb. adalah 40 : 60 persen dengan catatan izin tidak berliku-liku dan probabilitas kebehasilan pengeobaran jauh lebih tinggi jika dibangdingkan dengan di Indonesia. Selain itu tenaga kerja di sana ‘melimpah’ karena ahli-ahli pertambangan, geologi dan perminyakan Indonesia lebih memilih kerja di perusahaan minyak di luar negeri. Dengan risiko yang tinggi mereka justru menerima bagian yang kecil, “Perusahaan asing pun akan hengkang dari Indonesia jika porsi diubah,” kata seorang karyawan di sebuah perusahaan KKKS.

Kabarnya, kondisi itu bukan hanya karena tawaran gaji belaka tapi juga karena birokrasi yang sangat pelik dan tiada akhir di negeri ini. Itulah sebabnya kalangan di industri perminyakan merasa lega ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo melakukan gebrakan dengan memusatkan perizinan di satu atap. Tapi, harapan Presiden Jokowi ini tampaknya tidak diikuti oleh kalangan yang terkait langsung dengan berbagai perizinan. “Ah, baru sebats ‘PHP’ (pemberi harapan palsu),” kata seorang karyawan di sebuah perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Soalnya, mereka tetap harus melewati ratusan meja untuk sampai pada izin eksplorasi.

Dalam kaiatan itulah blogger, dalam hal ini kompasiner (penulis yaitu jurnalisme warga dikenal juga sebagai citizen journalism) yang tergabung di kompasiana.com, ditantang untuk  memasyarakatkan industri hulu migas agar masyarakat memperoleh informasi yang utuh sehingga tidak ada lagi pandangan miring terhadap pengelola industri hulu migas.

Soalnya, banyak orang yang memakai BBM sebagai hasil akhir migas untuk berbagai keperluan tidak menyadari bahwa yang mereka pakai itu merupakan hasil kerja keras di hulu yang dijalankan oleh SKK Migas.

SKK Migas adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha hulu migas.

Industri migas memiliki berbagai kegiatan usaha, salah satunya adalah kegiatan hulu migas (upstream). Kegiatan usaha hulu migas adalah aktivitas yang berintikan kegiatan eksplorasi dan produksi.

Padat Modal

Itu artinya SKK Migas menjalankan amanat UU RI No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada Pasal 3 yaitu: Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan :

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;

b. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;

c. menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri;

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

Selain penghasil devisa nomor dua setelah penerimaan dari sektor pajak, industri hulu migas juga menjadi penggerak dan pendorong sektor-sektor industri dan jasa. Industri hulu migas merupakan kegiatan bisnis negara, dalam hal ini dijalankan oleh SKK Migas, sehingga pemerintah mengendalikan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi atau produksi migas dirancang agar sektor-sektor dalam negari bisa berperan, al. sumber daya manusia (SDM) serta penyediaan barang dan jasa. Potensi berupa lowongan kerja dan jasa di sektor industri hulu migas sangat besar karena memerlukan tenaga kerja yang banyak mulai dari pekerja sampai ahli di berbagai bidang, terutama yang terkait dengan teknik sipil, geologi, pertambangan dan perminyakan serta bidang-bidang bisnis dan industri lain. Ada keperluan katering, transportasi ke rig di lepas pantai, penyediaan rig, dll. Sebagai gambaran investasi di sektor industri hulu migas mencapai Rp 300 triliun setiap tahun. Itu artinya industri hulu migas padat modal.

Apalagi dikaitkan dengan UUD ’45 Bab XIV Pasal 33 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, maka peranan SKK Migas pun sangat penting agar amanat UUD ’45 bisa terlaksana.

Di sisi lain perusahaan yang bergerak di hulu industri migas menghadapi persoalan besar. Misalnya, priode eksplorasi saja memakan waktu bertahun-tahun yang secara statistik antara 4-10 tahun. Sedangkan masa pengembangan untuk memulai produksi memakan waktu antara 4-17 tahun. Waktu produksi pertama antara 8-18 tahun. Maka, rata-rata waktu yang dibutuhkan sejak eksplorasi sampai produksi pertama antara 8-18 tahun. Ini rentang waktu yang lama dengan hasil yang belum tentu ekonomis jika dieksploitasi secara industri.

Perusahaan yang melakukan eksplorasi disebut Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pihak yang memiliki Kontrak Kerja Sama dengan Pemerintah RI, dalam hal ini SKK Migas, merupakan badan usaha atau perusahaan pemegang hak pengelolaan dalam suatu blok atau wilayah kerja yang ditentukan berupa hak untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.

Fase eksplorasi, seperti studi geologi sampai pengoboran, memakan waktu antara 0-6 tahun. Jika eksplorasi berhasil dilanjutkan dengan eksploitasi yang memakan waktu antara 10-15 tahun. Jika sumur potensial maka dilanjutkan dengan kegiatan produksi.

Itu artinya diperlukan modal yang besar. Berdasarkan pengalaman, seperti yang dikatakan oleh Joang Laksanto, Ketua Forum Komunikasi Kehumasan Industri Hulu Migas, paling tidak diperlukan dana 300 juta dolar AS (Kompasianan Nangkring bareng SKK Migas: “Membedah Industri Hulu Migas”, Jakarta,14/2-2015). Tentu modal yang tidak kecil bagi perusahaan dalam negeri. Pertamina pun tidaklah ringan tangan menaman modal sebesar itu untuk eksplorasi yang penuh dengan ketidakpastian.

Salah satu ‘penghibur’ bagi perusahaan KKKS adalah cost recovery yaitu pemulangan seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor dan biaya operasi produksi pada tahun berjalan dari hasil produksi wilayah kerja KKKS. Ini tentu saja kalau sumur yang dibor mempunyai cadangan migas yang ekonomi jika dieksploitasi.

Di sisi lain kabar buruknya yaitu kalau sumur di wilayah kerja KKKS tidak bisa dieksploitasi secara komersial, maka semua biaya yang sudah dikeluarkan oleh KKKS menjadi tanggungan perusahaan kontraktor.

Itulah sebabnya eksplorasi migas banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, ada juga perusahaan patungan antara perusahaan nasional dan asing (joint venture). Kehadiran perusahaan asing dalam industri hulu migas pun sering pula disalahtafsirkan oleh banyak kalangan dengan berbagai anggapan miring. Misalnya, dikhwatirkan perusahaan asing itu akan menyedot minyak mentah dan membawanya ke negara mereka. Tentu saja hal itu tidak benar karena ada aturan main yang diterapkan KKS.

Kegiatan di hulu adalah eksplorasi dan pengembangan yang jika sudah berhasil menemukan sumber dilanjutkan memproduksi minyak dan gas. Juga ada produksi LNG/LPG. Hasil industri hulu, migas dan LNG/LPG disalurkan melalui kapal (tanker) dan perpipaan ke kilang-kilang minyak (refinery) yang ada di Tanah Air. Bisa juga diekspor yang akan menghasilkan devisi bagi negara. Bagian ini sudah ranah BPH Migas yaitu  mengawasi penyediaan dan pendistribusan BBM dan pengakutan gas bumi melalui pipa.

Regulator di industri hulu migas inilah yang memegang perananan penting, dalam hal ini SKK Migas, yaitu menjembatani pemilik modal yang akan melakukan eksplorasi dan mengawasi perusahaan minyak yang sudah melakukan ekploitasi. Tentu saja ini dilakukan SKK Migas untuk memenuhi kewajiban yang diamatkan UUD ’45 dan UU Migas.

Belakangan ini tren kegiatan hulu migas bergeser ke arah kawasan timur Indonesia dengan kondisi sumur berasa di lepas pantai (off shore). Kian ke timur kedalaman laut semakin dalam sehingga eksplorasi dan eksploitasi didominasi oleh padat modal dan padat teknologi dengan tingkat risiko yang besar. Eksplorasi di kawasan timur Indonesia lebih banyak menemukan cadangan gas.

Sedangkan di hilir yaitu mulai dari kilang minyak yang menghasilkan BBM sampai pada penyaluran ke konsumen melalui SPBU serta ke industri sudah menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam hal ini dilakukan oleh Pertamina dengan regulator Kementerian ESDM. Selain untuk keperluan energi dalam negeri hasil kilang minyak pun bisa juga diekspor jika sudah melebihi kuota untuk kebutuhan nasional.

Tanpa mengeluarkan uang sepeser pun pemerintah justru menangguk untung untuk pundi-pundi APBN. Tahun 2013 jumlah transaksi industri hulu migas mencapai 57,8 miliar dolar AS yang berasal dari kontraktor KKS yang sudah berproduksi. Dana ini berasal dari transaksi minyak 31,3 miliar dolar AS, gas pipa 12,4 miliar dolar AS, dan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dan elpiji (liquefied petroleum gas/LPG) 14,1 miliar dolar AS (energitoday.com, 26/2-2014).

Subsidi Energi

Sejak tahun 2010 penyediaan barang dan jasa untuk keperluan industri hulu migas menggunakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sektor industri barang dan jasa melibatkan badan usaha milik negara (BUMN). Maka, pada tahun 2014  pengadaan barang dan jasa industri hulu migas sebesar 17,354 miliar dolar AS dengan TKDN sebesar 54,15 persen. Dengan berpijak pada TKDN pada periode 2010-2014 nilai pengadaan barang dan jasa yang melibatkan BUMN lebih dari 4,51 miliar dolar AS dengan TKDN rata-rata 77,25 persen (kompasiana.com, 26/3-2015).

Rangkaian partisipasi bank, industri dan jasa nasional dalam menopang industri hulu migas merupakan bagian dari manajemen rantai suplai (Supply Chain Mangement/SCM). Mata rantai suplai pada industri hulu migas ini merupakan langkah konkret yang akan membangkitkan industri dan jasa nasional karena dana yang ada di sektor industri hulu migas yang sangat besar.

Namun, kerja keras SKK Migas di industri hulu migas seakan sirna ketika penerimaan dari sektor migas ke APBN “dimakan” oleh subsidi energi (listrik dan BBM). Kondisi ini mulai terjadi pada tahun 2012. Penerimaan dari sektor migas tercatat Rp 289,3 triliun, sedangkan subsidi energi mencapai Rp 306,48 triliun. Di tahun 2013 penerimaan migas Rp 292,37 triliun dengan subsidi engeri Rp 299,59 triliun. Maka, amatlah beralasan kalau kemudian Presiden Jokowi tidak memberikan subsidi BBM lagi sehingga harga jual BBM mengikuti pasar. Subsidi BBM yang besar diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dll.

Untunglah dunia perbankan nasional kecipratan juga dolar dari industri hulu migas karena bank-bank pemerintah menjadi ‘bank resmi’ dunia perminyakan nasional. Sejak tahun 2008, SKK Migas (dahulu BPMIGAS-red) mewajibkan transaksi pembayaran pengadaan barang dan jasa melalui perbankan nasional. Dengan aturan ini nilai transaksi pengadaan terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2009, misalnya, transaksi sebesar 3,97 miliar dolar AS. Tahun 2011 naik menjadi 6,348 miliar dolar AS dan pada tahun 2013 nilainya hampir menyentuh angka 8 miliar dolar AS. Kontraktor juga diwajibkan menyimpan dana cadangan untuk pemulihan kondisi lapangan setelah operasi (Abandonment and Site Restoration/ASR) di bank nasional. Sampai 31 Januari 2014 penempatan dana ASR yang disimpan di Bank BUMN mencapai 501 juta dolar AS (energitoday.com, 26/2-2014).

Dolar yang dikumpulkan di industri hulu migas terus habis untuk subsidi BBM karena skenario energi nasional sampai tahun 2050 tetap saja belum bisa menurunkan BBM dengan berarti. Lihat saja angka-angka ini: Tahun 2010 energi nasional memakai BBM 49 persen, tahun 2025 diprediksi sumber energi BBM 25 persen. Itu artinya tetap saja mengandalkan BBM. Itu artinya sampai tahun 2050 diperlukan badan seperti SKK Migas untuk mengelola industri migas di hulu karena kalau institusinya dalam bentuk BUMN akan berbenturan dengan berbagai kepentingan oleh berbagai pihak dan kalangan juga akan sarat dengan muatan politis.

Produksi migas yang mencapai puncak produksi pada tahun 1977 dan 1995 berbanding lurus dengan kebutuhan (konsumsi) yang terus meningkat sejak tahun 1965 dengan laju peningkatkan konsumsi 8 persen/tahun. Sedangkan produksi mulai menurun sejak tahun 2001 dengan penurunan 15-20 persen/tahun. Prediksi pada tahun 2025 produksi alam akan mencari titik nol, sedangkan kebutuhan justru mencapai puncak sehingga terjadi neraca yang tidak seimbang. Maka, Indonesia pun menjadi negara pengimpor minyak.

Kebutuhan BBM terus terjadi karena sistem transportasi massal yang tidak dikembangkan di Indonesia sehingga banyak orang yang mengandalkan kendaraan pribadi yaitu motor dan mobil. Padahal, studi Bank Dunia menunjukkan kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa sudah wajib memakai transportasi massal yang cepat, disebut MRT yaitu mass rapid transit, dengan kereta api atau kereta listrik di bawah permukaan tanah (metri atau MRT) atau melayang di atas permukaan tanah (LRT/light rail transit).

Sistem ini baru mulai dikembangkan oleh Jokowi ketika beliau menjabat Gubernur DKI Jakarta. Itu baru tahap pertama pada jarak yang pendek 16 km dan baru beroperasi tahun 2018. Maka, dalam tiga tahun ke depan motor dan mobil akan menyedot BBM karena dipakai sebagai alat transportasi utama.

Karena skenario energi sampai tahun 2050 tetap membutuhkan BBM, maka SKK Migas perlu didorong agar lebih aktif ‘merayu’ perusahaan-perusahaan multinasional atau perusahaan patungan untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia. Tentu saja dukungan pemerintah harus 100 persen, terutama soal perizinan, serta publikasi agar perusahaan minyak asing tertarik melakukan ekplorasi migas di Indonesia. [Bahan-bahan: Kompasiana Nangkring bareng SKK Migas:Membedah Industri Hulu Migas”, Jakarta,14/2-2015; Kompasiana Nangkring SCM Hulu Migas: “Peningkatan Peran SDM dan Industri dalam Negeri dalam Kegiatan Hulu Migas”, Jakarta, 31/3-2015, dan sumber-sumber lain]. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Ilustrasi (Repro: www.nytimes.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun