Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sepenggal Kenangan dengan Chris “Babe” Green “Bergelut” dengan HIV/AIDS

22 Juni 2015   10:20 Diperbarui: 13 Juli 2015   08:16 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Saya ingat betul perkenalan saya pertama kali dengan Babe, panggilan akrab Chris W. Green, aktivis HIV/AIDS sejak awal 1990-an di Jakarta, adalah di bulan puasa (1998). Waktu itu Bu Lia, Dr Rosalia Sciortino di Kantor Ford Foundation Jakarta, mengadakan diskusi tentang kondom. Malam ini, 21/6-2015, pkl 21.00 saya baca status Danel Marguari, Yayasan Spiritia Jakarta, yang mengatakan bahwa Babe akan disemayamkan di RS St Carolus, Jakarta Pusat, sampai tanggal 23/6-2015 selanjutnya akan dikremasi. Babe pergi untuk selama-lamanya sekitar pukul 15.30, 21/6-2015, di RS Siloam, Tangerang, Banten.

Ketika itu Babe menunjukkan newsletter “WartaAIDS” yang berisi informasi tentang HIV/AIDS. Sebagai wartawan yang bergelut di isu HIV/AIDS, ketika itu bekerja di Tabloid ‘MUTIARA’ Jakarta, saya tertarik membantu Babe. Usul saya kemudian yaitu menuliskan berita dan ulasan terkait AIDS dengan kasus Indonesia diterima Babe.

Saya pun bekerja di rumahnya di bilangan Pondok Gede, ini sudah masuk Bekasi, tapi di pinggiran Jakarta Timur. Di sana kami mengelola beberapa newsletter yang menyebarluaskan informasi HIV/AIDS dan Narkoba. Ada “WartaAIDS” dan “HindarAIDS” yang didanai oleh Ford Foundation dengan dukungan Bu Lia.

“Saya heran, Bang, koq Abang tidak kaget.” Itulah kira-kira tanggapan Babe terhadap reaksi saya ketika dia menceritakan orientasi seksnya. Waktu itu saya hanya tertawa kecil mendengar cerita Babe tentang “siapa” dia. Babe mengatakan bahwa dia tidak mau saya mengetahui informasi tentang dia dari orang lain. Hal yang sama juga dia lakukan dengan yang lain.

Bagi saya orientasi seks dan semua hal yang terkait dengan patologi sosial adalah hal biasa karena alm Damang (ayah) dulu di akhir tahun 1960-an sampai tahun 1970-an memberikan pekerjaan kepada seorang waria dan menyediakan rumah kepada seorang pekerja seks. Ayah saya memang jadi sasaran fitnah dan caci maki. Hal yang saya alami setiap hari. Banyak cerita yang saya dengar, waktu itu saya di SD dan ketika di SMP cerita-cerita itu tidak mengganggu saya lagi.

Toleransi saya dengan Babe berlanjut. Babe menyediakan sajadah di salah satu kamar di rumahnya. “Silakan, Abang salat,” kata Babe sambil menunjukkan kamar dan sajadah yang dia sediakan. Saya sendiri sebenarnya lebih memilih salat di musola di perumahan itu, tapi karena Babe sudah menyediakan sarana maka saya pun memakainya.

Juga di bulan puasa, “Abang bikin ulasan tentang cara berpuasa bagi Odha,” pinta Babe. Saya pun mencari bahan-bahan di buku-buku fiqih dan wawancara dengan ahli. Ulasan kami dimuat di “WartaAIDS”.

Setiap hari kami diskusi soal berita yang akan dimuat di newsletter karena sumber berita itu dari luar negeri. Artinya, kami mencari informasi yang ‘nyambung’ dengan kasus di Indonesia.

Karena Babe tahu persis kalau hari Senin dan Kamis saya sering puasa, maka jika tiba waktu sarapan dan makan siang Babe selalu minta maaaf, “Bang, maaf, ya kam sarapan dulu.” Bagi saya hal itu sangat berharga karena Babe menghargai yang saya lakukan dan sama sekali kami tidak pernah terlibat pembicaraan tentang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Saya sendiri sejak kecil sudah diperkenalkan alm. Damang dengan beragama kehidupan, al. teman di kantornya, pemilik kantin yang selalu menyediakan bumbu pecal, dan hampir tiap malam saya dibawa menonton di bioskop. Tapi, kalau ada adegan ciuman dia pun menyuruh saya menunduk. Tapi, setelah SMP saya nonton sendiri karena salah satu karyawan di bioskop itu Uda (Oom) saya sehingga bisa masuk biar pun belum berumur 17 tahun. Waktu itu umur sangat ketat karena harus menunjukkan KTP kalau mau nonton dengan batas usia 17 tahun ke atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun