Catatan: Dalam tulisan “PSK di Kota Samarinda, Kaltim, akan Dilokalisir untuk Meredam Penyebaran IMS dan HIV/AIDS” ada kaitan dengan Perda AIDS Prov Kaltim. Berikut ini tulisan yang menyibak peran Perda AIDS Kaltim dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kaltim.
Perda Prov Kalimantan Timur (Kaltim) No 5 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual merupakan perda ke-20 dari 44 perda serupa di seluruh Nusantara. Pembuatan perda-perda AIDS bertolak dari keberhasilan Thailand menunrunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program 100 persen kondom’. Lalu, bagaimana sepak terjang Perda AIDS Kaltim dalam ranah penanggulangan epidemi HIV di Kaltim?
’Program 100 persen kondom’ ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi dan rumah-rumah bordir di Negeri Gajah Putih itu. Celakanya, program itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena beberapa faktor.
Perilaku Berisiko
Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga mekanisme pengawasan tidak bisa dilakukan. Thailand mengawasi program itu dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Germo atau mucikari pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi peringatan sampai pencabutan izin.
Pada pasal 5 ayat 3 (c) disebutkan: Dalam rangka penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi dan masyarakat Kalimantan Timur berkewajiban untuk: Melaksanakan penanggulangan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi, termasuk di dalamnya keharusan menggunakan kondom. Karena di Kaltim tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir maka penanggulangan yang ditawarkan ini pun tidak akan jelan karena tidak ada pengawasan.
Kedua, di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap kondom karena selama ini kondom dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, kondom dianggap sebagai alat untuk mendorong orang melakukan hubungan seks di luar nikah.
Ketiga, pemahaman masyarakat terhadap cara-cara pencegahan dengan kondom sangat rendah sehingga banyak orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko yaitu (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.
Tiga alasan itu merupakan ganjalan terhadap ’program 100 persen kondom’ pada hubungan seks berisiko. Selain itu program ini merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di Thailand. Maka, program kondom yang ditawarkan di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Materi dalam perda ini pun tetap dibalut dengan moral. Seperti pada Pasal 4 disebutkan: Penularan HIV/AIDS dan IMS dapat menular kepada orang lain dengan cara: a. Hubungan seksual tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar kesehatan. Tidak ada penjelasan tentang pengertian ’terlindungi sesuai standar kesehatan’. Pasal ini mengambang karena tidak jelas maksudnya. Lagi pula ada salah kaprah di sini. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan orang yang sudah tertular HIV (HIV-positif).
Pada pasal 1 ayat 7 dan 8 disebutkan ’kelompok rawan’ dan ’tempat rawan’. Ini tidak akurat karena yang rawan terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks bukan kelompok atau tempat tapi perilaku orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak rawan kalau dia hanya mau meladeni laki-laki yang memakai kondom.