Suatu waktu seorang reporter menyerahkan berita kepada redaktur. Berita yang ditulis wartawan tadi tentang kasus perkosaan.
Apa yang ditulis wartawan tadi?
Wartawan itu menulis secara langkap kejadian perkosaan itu, sampai cara pelaku menarik celana dan, maaf, meludahi vagina korban, dst.
Cara penulisan berita itu bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik PWI yang meminta wartawan menghargai harkat dan martabat manusia. Di Pasal 8 disebutkan: Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.
Cara penulisan berita wartawan tadi di dunia jurnalistik dikenal sebagai ‘the second rape’ yaitu perkosaan kembali oleh wartawan melalui tulisan. Wartawan yang menulis berita itu menempatkan dirinya sebagai pelaku yang memerkosa.
Situasi ketika wartawan menulis berita dia berada pada posisi pemegang kendali bisa disebut juga voicefull dan powerfull. Sedangkan korban, Y, berada pada posisi tidak berdaya disebut juga sebagai voiceless atau powerless.
Kondisi itu merupakan bentuk yang tidak berempati terhadap korban kejahatan, dalam kasus ini perkosaan terhadap seorang gadis belia berumur 14 tahun yang dilakukan oleh 14 laki-laki yang mengakibatkan koban tewas di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Sebuah stasiun televisi swasta nasional juga membuat matriks yang menggambarkan posisi korban dikelilingi pelaku. Sedangkan “Gerbang Bengkulu”, sebuah media online di Bengkulu, membuat ilustrasi gambar cewek dengan baju ketat. “Tetapi foto gadis berbaju ketat berwarna putih dalam posisi menggoda itu seakan menggiring imajinasi pembaca ketika membaca berita pemerkosaan dan pembunuhan itu, bahwa itulah korban.” (VOA Indonesia, 6/5-2016). Begitu pula dengan "Pojok Satu", media online di Bogor yang juga menampilkan foto rekonstruksi pemerkosaan yang menggunakan objek boneka berbentuk perempuan.
Banyak pengelola media yang tidak memahami etika jurnalistik dengan menganggap berita-berita yang sensasional dan bombastis merupakan bagian dari kekuatan media. “Itu salah,” kata Bang Hadi, Ashadi Siregar, LP3Y Yogyakarta, dalam berbagai kesempatan pelatihan wartawan. Bang Hadi melanjutkan: Kalau benar media itu kuat, kita uji saja: Media macam apa yang menggaji wartawannya dengan baik: media dengan berita yang sensaional dan bombastis atau media dengan berita yang memegang teguh etika jurnalistik?
Nah, terkait dengan tantangan Bang Hadi itu, pekan lalu AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) merilis hasil survei terkait upah atau gaji wartawan di Indonesia: Tapi ketanyaannya, dari survei yang dilakukan AJI Jakarta sejak Januari 2016, banyak perusahaan media yang memberikan upah di bawah layak (kompas.com, 2/5-2016).