Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sanksi yang Diskriminatif terhadap Pelanggar Perda AIDS Merauke

13 September 2010   07:17 Diperbarui: 7 Juni 2019   17:29 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: futurism.com)

“Denda Pelanggaran Perda Penanggulangan AIDS Bebani PSK.” Ini judul berita di tabloidjubi.com (17/3-2010). Dikabarkan sanksi bagi pelanggar perda dinilai oleh pekerja seks komersial (PSK) membebani mereka. Sudah ada 61 PSK yang harus membayar denda sebagai sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perda.

Pemkab. Merauke, Prov. Papua, menelurkan Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS tanggal 27 September 2003. Perda ini yang kedua setelah Kab. Nabire (31 Januari 2003). Sampai sekarang sudah ada 38 perda AIDS di Indonesia.

Di Pasal 12 ayat 1 disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial, Pelanggan, Mucikari, Pengelola Bar dan Pramuria yang dengan sengaja melanggar Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000,- ( Lima juta rupiah).”

Jika yang dimaksud pasal 12 ayat 1 sebagai pelanggaran adalah perbuatan yang dilakukan sesuai dengan pasal 4 yaitu: ”Setiap Penjaja Seks Komersial wajib:

a. Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual;

b. Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah;

c. Tidak melakukan aktifitas seksual pada saat terindikasi menderita penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS)”.

Maka, ada pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu: Apa tolok ukur yang dipakai untuk membuktikan dan memperoleh alat bukti perbuatan yang melawan hukum sesuai dengan ayat a?

Jika kita memakai nalar tentulah perbuatan pada ayat a itu tidak hanya dilakukan oleh PSK sendirian karena hubungan seks harus dengan laki-laki. Di pasal Pasal 7 ayat a disebutkan: ”Setiap pelanggan wajib menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual.”

Tapi, mengapa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan 61 PSK itu tidak menjalani persidangan? Padahal sudah terbukti mereka tidak memakai kondom berdasarkan hukuman terhadap 61 PSK yang mereka ’pakai’. Begitu pula dengan mucikari dan pengelola bar tempat 61 PSK itu bekerja: mengapa mereka tidak dibawa ke meja hijau?. Kondisi ini bisa menimbulkan penafsiran: peradilan didorong oleh sentimen tertentu.

Disebutkan oleh Bunga (nama samaran), seorang PSK yang terjerat perda: “Untuk makan saja sulit, apalagi membayar denda.” Dengan ’meloloskan’ mucikari, pengelola bar dan laki-laki ’hidung belang’ dari jerat hukum terjadi diskriminasi terhadap PSK itu. Walaupun persidangan terhadap PSK pelanggar Perda sesuai dengan hukum tapi diskriminasi yang dialami oleh PSK itu juga merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun