“Menteri Yohana Siapkan Larangan Anak Main Ponsel” Ini judul berita di kompas.com (27/5-2015) yang merupakan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Susana Yembise.
Judul berita itu saja sudah menunjukkan kenaifan seorang menteri karena ponsel atau telepon selular atau hand phone bukan barang terlarang sehingga tidak ada alasan untuk melarang seseorang untuk memegang dan memakai ponsel.
Lalu untuk apa Bu Menteri melarang anak-anak memakai ponsel?
Menurut Bu Menteri: “ .... penggunaan ponsel membuka peluang bagi anak-anak untuk membuka situs-situs yang kurang baik.”
Tidak semua ponsel bisa mengakses Internet. Maka, mengapa anak-anak harus dilarang memegang ponsel.
Untuk itu dikabarkan bahwa Kemen PPPA, Yohana, sedang menyiapkan peraturan menteri tentang larangan anak-anak memakai telepon seluler atau ponsel.
Bu Menteri ini juga tidak objektif karena menganggap tidak ada dampak buruk situs-situs yang “tidak baik” terhadap remaja dan dewasa. Itu artinya menteri ini memberikan peluang yang besar bagi remaja dan dewasa untuk mengakses situs-situs yang “tidak baik” karena dia menganggap tidak ada dampaknya bagi remaja dan dewasa.
Pernyatan menteri ini juga menungkirbalikkan nalar: "Ketika SD membuka situs-situs yang kurang baik, ketika SMP dan SMA sudah mulai mempraktikkan."
Apakah tidak ada anak SMP, murid SMA, remaja dan orang dewasa yang mengkases situs-situs yang “tidak baik” tidak mempraktikkan tayangan yang mereka akses?
Lagi pula, lama amat jarak antara menonton situs yang “tidak baik” dan mempraktikkannya.
Ini juga pernyataan Bu Menteri: Maraknya prostitusionline tidak terlepas dari penggunaan ponsel.
Ini benar-benar tidak masuk akal karena online tidak hanya melalui ponsel. Ada PC, laptop dan tablet.
Pelacuran dalam berbagai bentuk terjadi karena ulah laki-laki yang tidak bisa mengontrol dorongan syahwatnya. Padahal, di Indonesia tidak seorang pun penduduk yang tidak memeluk agama. Tapi, pelacuran menggeliat sepanjang hari selama 24 jam di sembarang tempat dengan berbagai macam modus.
Di bagian lain disebutkan juga bahwa menteri juga mengatakan ponsel pada anak-anak SD akan berdampak buruk yaitu konsentrasi belajar yang hilang, interaksi sosial yang semakin kecil, hingga pemanfaatan waktu belajar yang kurang efisien.
Selama jam pelajaran di ruang kelas ada aturan yang melarang ponsel dihidupkan. Bisa juga guru kelas mengumpulkan semua ponsel murid saat jam belajar. Lagi pula apakah ponsel pada murid SMP dan SMA, remaja serta orang dewasa tidak berdampak buruk terhadap pelajaran, pergaulan dan pekerjaan?
Terlalu gampang bagi seorang menteri membuat peraturan hanya beradasarkan opini tanpa pijakan fakta empiris.
Jika ponsel dilarang karena bisa mengakses Internet, maka analoginya adalah Bu Menteri juga kelak akan menerbitkan peraturan yang melarang anak SD memakai PC, laptop dan tablet.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Bagaimana memantau anak-anak SD yang memakai ponsel?
Apakah kemudian polisi merazia setiap rumah untuk menyelidiki apakah anak-anak SD di rumah itu memakai ponsel.
Kalau ini terjadi kita sudah berada di titik nadir penalaran dan berdiri di jurang kenistaan terkait akal budi.
Yang diperlukan adalah sosialisasi kepada semua orang tentang cara aman dan bermanfaat memakai ponsel, laptop, tablet dan PC yang tersambung dengan jaringan Internet. Ini perlu dilakukan oleh pemerintah melalui jajaran terkait dengan memanfaatkan media massa, media online dan media sosial.
Pernyataan itu disampaikan menteri pada seminar di Universitas Jakarta (UNJ), 7/5-2015. Tidak dijelaskan seminar tentang apa. Tapi, amatlah janggal kalau kemudian civitas akademi UNJ menerima pernyataan menteri itu sebagai bahan key note speaker seminar. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H