Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

“Revolusi Dari Desa”, Pradigma Baru Pola Pemerintahan Melalui Gerdema

1 Desember 2014   02:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* Pengalaman Dr Yansen TP, MSi, sebagai bupati di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur

Selama ini sistem pemerintah di Indonesia berjalan dengan sistem top-down yaitu semua jalan berdasarkan perintah atasan. Kalau sebelum reformasi perintah mulai dari presiden turun ke menteri, selanjutnya menteri memerintahkan gubernur, gubernur memerintahkan bupati dan walikota yang kemudian ke camat dan terakhir di desa atau kelurahan.

Setelah reformasi daerah menjadi otonomi sehingga roda pemerintahan berjalan sesuai dengan pola daerah. Tapi, otonomi hanya terbatas pada pengelolaan dana di tingkat provinsi, kota dan kabupaten sedangkan pola pemerintahan tetap top-down.

Cara kerja itulah kemudian yang dilihat oleh Bupati Malinau, Prov Kalimantan Utara, Dr Yansen TP, MSi, sebagai pola pemerintahan yang tidak melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat desa, secara langsung. Pak Bupati ini ingin agar pola pemerintahan justru dimulai dari desa. Ide itu pun menjadi bahan disertasi Pak Bupati di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Masyarakat Tetap Terpuruk

“Membangun Indonesia harus dimulai dari daerah,” kata Dr Yansen dengan nada tegas pada acara “Kompasiana nangkring-Tokoh Bicara” berupa bedah buku “REVOLUSI dari DESA. Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat” di Hotel Santika Premiere, Jakarta, 8 November 2014.

Sebagai kepala pemerintahan di kabupaten Dr Yansen melihat cara untuk meningkatkan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat desa yaitu melalui pelimpahan kekuasaan kepada camat dan kepala desa. Gaya kepemimpinan Dr Yansen ini bukan tanpa alasan karena semua dijalankan berdasarkan pengalaman empiris yang akhirnya membawa Yansen meraih doktor.

1417350360984315858
1417350360984315858

“Revolusi dari Desa merupakan cara pandang yang sebaiknya dipahami oleh setiap kepala daerah,” ujar Dr Yansen. Tentu saja hal itu tidak mudah karena selama ini pola pemerintahan yang cenderung top-down membuat banyak kepala pemerintahan di provinsi, kabupaten dan kota akan mengalami kesulitan besar.

Dikesankan bahwa pertumbuhan ekonomi dan produktivitas akan terangkat jika ada industri, namun fenomena sosial dan ekonomi yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi masyarakat sekitar tetap terpuruk. Kelompok yang lemah menjadi kian lemah, sementara kelompok yang kaya semakin kaya dan kuat (hal 3).

Bagi Dr Yansen fenomena itu terjadi karena konsep yang kurang tetap dalam roda pemerintah yang selama ini tidak melibatkan rakyat secara utuh. Model dan strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah selama ini justru tidak menyentuh persoalan-persoalan yang sangat mendasar di masyarakat, khususnya masyarakat desa. Pemerintah terkesan melakuka langkah politis, misalnya dengan meningkatkan subsidi sebagai tindakan prenventi dan persuasif.

Secara statistik terjadi perubahan pada angka-angka sebagai keberhasilan, seperti GNP (gross national product) dan GDP (gross domestic product), atau pendapatan perkapita. Tapi, ini tidak menyentuh akar persoalan. Isu utama pembangunan tetaplah pada topik yang sama yaitu masalah kemiskinan dan pengangguran, plus infrastruktur, sumber daya manusia dan informasi (hal 5).

Dr Yansen mengutip ‘nasehat” Albert Einstein: “Gila, jika kita mengharapkan hasil berbeda, dengan melakukan cara yang sama.” Maka, tidakalah mengherankan kalau kemudian kemiskinan bukan berkurang tapi justru menjadi kemiskinan struktural karena cara-cara yang dipakai tidak berbeda dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Pemerintah telah bekerja keras untuk memerangi kemiskinan tetapi kerja keras itu tetap melahirkan kemiskinan secara terstruktur yang tidak pernah berubah dari keadaan sebelumnya (hal 6).

Kegiatan pemerintahan selalu mengatas namakan pembangunan, tapi realitas yang ada justru pembangunan tidak menyentuh akar persoalan. Soalnya, pembungunan yang mengutamakan pradigma pertumbuhan tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, tapi hanya dinikmati segelintir warga negara.

10 Misi Pembangunan Malinau

Untuk itulah Dr Yansen menawarkan pola pemerintah baru yaitu dengan mengubah konsep pembangunan. Dalam bahasa lain Dr Yansen mengatakan gagasan baru yaitu inisiatif, kreasi, dan inovasi yang akan bermuara pada gagasan baru, berani, dan implementatif. Dengan gagasan inilah Dr Yansen menjalankan roda pemerintahan dengan dukungan legitimasi rakyat. Dia mengatakan tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kepercayaan tsb., sehingga melalui perenungan yang panjang dia berusaha memahami persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat baik secara konseptual maupun secara kontekstual (hal 9).

Gagasan berupa konsep baru tersebut dituangkan dalam GERDEMA (Gerakan Desa Membangun) yang berpijak pada visi dan misi Pemerintah Kabupaten Malinau. Dr Yansen yakin pembangunan baru bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat jika pembangunan melibatkan rakyat secara penuh. Cata pandang ini pulalah yang menjadi kunci kemenangan Dr Yansen sehingga terpilih menjadi bupati pada tahun 2011.

Dalam perjalanan sebagai bupati, Dr Yansen menemukan beberapa isu strategis terkait dengan pembangunan di Kab Malinau. Isu-isu tsb. dianalisis secara mendalam dengan tolok ukur yang objektif. Hasil analisis itulah kemudian yang dirumuskan dalam 10 misi pembangunan Kab Malinau (hal 21).

Kesepuluh misi tsb. menyentuh langsung akar persoalan di masyarakat sehingga diperlukan langkah-langkah penanganan yang sistematis dan komprehensif. Langkah-langkah pemecehana masalah pada sepuluh misi itu kemudian dielaborasi menjadi empat pilar pembangunan Kab Malinau, yaitu: pembangunan infra struktur daerah, membangun sumber daya manusia, membangun ekonomi daerah melalui sektor ekonomi kerakyatan, dan membangun sektor kepemerintahan.

Sepuluh misi yang dielaborasi dalam empat pilar merupakan pemicu pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam pandangan Dr Yansen yang paham tentang kesejahteraan rakyat adalah rakyat sendiri. Maka, langkah dan perilaku pemerintah baik di daerah maupun di pusat harus memperhatikan apa yang menjadi masalah dan kebutuhan mereka (rakyat-pen.) (hal 34).

Dengan modal sepuluh misi dan empat pilar pembangunan Pemerintah Kabupaten Malinau bertekad mewujudkan daerahnya sebagai tujuan pariwisata, daerah pertanian, dan menyiapkan rumah sakit daerah sebagai rumah sakit rujukan (hal 35).

Dr Yansen tidak mengada-ada karena potensi wisata di daerahnya bisa dijual, seperti keindahan alam (flora dan fauna) serta budaya masyarakat lokal yang sangat khas. Hasil kajian menunjukkan pariwisata tidak merusak lingkungan. Bahkan, sebaliknya pariwisata menjadi pendorong pembangunan yang berkelanjutan dan tidak pernah terkena dampak resesi. Maka, tidaklah berlebihan kalau kemudian kalau Kab Malinau dijuluki sebagai “Heart of Borneo” (hal 36).

Melimpahkan Wewenang

Konsep GERDEMA yang digulirkan Dr Yansen merupakan perpaduan dua pendekatan dalam pembangunan yaitu top-down dan bottom-up. Melalui GERDEMA masyarakat desa didorong agar mereka menyadari bahwa pembangunan datang dari mereka, dijalankan oleh mereka dan hasilnya untuk mereka yang kelak terwujud sebagai pemberi manfaat bagi kehidupan mereka pula.

14173504252044911399
14173504252044911399

Revolus dari desa merupakan sebuah gerakan dari bawah, yang juga dapat bermakna gerakan dari rakyat untuk kesejahtaraan rakyat  (hal 43). Ini bisa berjalan jika didukung dengan prinsip percaya sepenuhnya kepada rakyat. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Dr Yansen sebagi bupati melimpahkan 31 wewenang kapada camat dan 33 kepada pemerintahan desa sebagai bagian dari kepecayaan kepada rakyat.

Dr Yansen tidak melihat hal itu sebagai pengebirian kekuasaannya sebagai bupati karena wewenang yang diberikan bukan bersifat politis, tapi terkait dengan pemerintahan. Kekuasaan sebagai bupati tetap ada di tangannya dengan dukungan jajaran aparat di pemerintahan kabupaten.

Tentu langkah Dr Yansen itu tidak mudah diikuti oleh bupati, walikota atau gubernur. Tapi, berdasarkan pengalaman Dr Yansen sudah saatnya para bupati, walikota dan gubernur juga melimpahkan wewenang kepada bawahannya agar roda emerintahan benar-benar berjalan dari masyarakat (bottom-up).

Dalam prakteknya GERDEMA menjadi konsep utama dalam menggerakkan roda pemerintah dan pembangunan di Malinau. Ini menunjukkan dan menegaskan komitmen pemerintah kabupaten dalam mewujudkan pembanungan Malinau secara tegas dan konkret (hal 46).

Tentu saja GERDEMA berjalan karena masyarakat yang akan disejahterakan ada di desa sehingga merekalah yang menjalankan program pembangunan dengan dukungan kearifa lokal yang mereka miliki. Secara faktual GERDEMA merupakan program desa yang diijalankan oleh masyarakat desa dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Itulah sebabnya program GERDEMA diterima dan dilaksanakan secara luas di Malinau.

Salah satu sasaran objektif GERDEMA adalah mengentaskan penduduk miskin yang mencapai 26 persen dari populasi penduduk Malinau. Mereka ini, juga masyarakat lain, sangat tergantung kepada pemerintah. Agar pembangunan berjalan lancar ketergantungan kepada pemerintah harus dikurangi. Dalam kaitan inilah GERDEMA memberikan jawaban karena langsung menyentuh akar persoalan di masyarakat, terutama masyarakat desa.

Salah satu fakta yang muncul dari penerapan GERDEMA adalah jumlah lapangan kerja yang bertambah karena melibatkan banyak penduduk. Kondisi ini menurunkan jumlah penduduk yang menganggur.

Pengalaman Empiris

Agar GERDEMA menjadi motor penggerak pembangunan Pemkab Malinau pun memperbaiki stratesi APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang semula dialokasikan berdasarkan kebiasaan, tapi setelah ada GERDEMA konsep APBD pun diperbaiki bedasarkan skema strategis (hal 62).

Konsep GERDEMA yang diintegrasikan ke APBD dijalankan berdasarkan pertimbangan yang berdayaguna untuk pembangunan masyarakat desa, yaitu: (a) Kebutuhan yakni program merupakan kebutuhan masyarakat, (b) Aksebilitas yang tinggi yakni program bisa dijangkau oleh masyarakat luas dan manfaatnya juga bag mereka, (c) Unggulan yakni program merupakan representasi dari potensi yang tersedia, dan (d) Berdampak besar terhadap pengembangan wilayah yakni program akan mendorong pemerataan antar wilayah.

Peran masyarakat yang aktif dalam pola pembangunan dengan konsep GERDEMA merupakan perbedaan yang nyata dari pola pembangunan konvensional yang selama ini dijalankan secara nasional.

Mekanisme GERDEMA dalam kancah pembangunan tetap mengacu ke pola pemerintahan umum. Bedanya adalah pada konsep GERDEMA yang menjadi subjek adalah rakyat (desa) bukan aparat pemerintah. Maka, implementasi GERDEMA sebagai sebuah model pembangunan yang berkelanjutan memerlukan mekanisme umum yaitu fungsi-fungsi manajemen mulai dari tahap perencanaan, pembiayaan, pengawasan, evaluasi, pertanggungjawaban, indikator kinerja, sampai capaian keberhasilan (hal 111).

14173507271650732758
14173507271650732758

Sebagai konsep baru dalam menggerakkan pembangunan hasil yang dicapai GERDEMA terukur dalam 13 nilai yang ideal (hal 136). Nilai-nilai ini merupakan ukuran ril yang harus dicapai melalui program GERDEMA. Sebut saja partisipasi masyarakat yang dinamis, demokrasi berkembang, kepemimpinan desa yang dinamis, transparansi, sampai prinsip dan nilai keadilan dalam masyarakat desa.

Keberhasilan pembangunan dengan konsep GERDEMA dilihat dari rekam jejak pemerintah desa sebelum dan sesudah GERDEMA dijalankan di Kab Malinau. Pembangunan dengan konsep GERDEMA dijalankan tahap demi tahap mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi.  Hasil pembangunan dengan konsep GERDEKA diukur berdasrakan 12 indikator (hal 164).

Langkah yang dijalankan Dr Yansen di Malinau merupakan jawaban terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada Pasal 4 ayat d disebutkan: “Pengaturan Desa bertujuan mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama.” Ini merupakan sikap pemerintah terhadap posisi dan peran pemerintahan desa yang strategis dalam melayani masyarakat.

Dengan pengalaman empiris Dr Yansen menjalankan GERDEMA di Kab Malinau, tentulah konsep GERDEMA bisa menjadi acuan bagi bupati, walikota dan gubernur agar roh pembangunan nasional berjalan mulus dengan melibatkan rakyat dan dengan hasil yang langsung dinikmati rakyat pula. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun