Ketika ada ajakan untuk memberikan masukan bagi Raperda HIV-AIDS dan Tuberkulosis (Inisiatif Anggota DPRD Bojonegoro) yang pertama terlintas di pikiran saya adalah copy-paste. Dan, saya tidak suuzon karena setelah saya baca hal itu benar. Dari 81 Peratuaran Bupati (Perbup), Peraturan Walikota (Perwali), dan Peraturan Daerah (Perda) sudah 74 yang saya baca. Semua hanya copy paste. Tanggapan terhadap perbub, perwali dan perda AIDS saya ulas di http://www.aidsindonesia.com.
Dalam 74 Pergub, Perwali dan Perda AIDS tsb. satu pun tidak ada yang memberikan langkah-langkah yang konkret melalui pasal yang eksplisit cara-cara penanggulangan HIV/AIDS. Semua bertumpu pada aspek moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Itu artinya cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS bisa diketahui dengan akurat.]
HIV Gandakan Diri
Tapi, karena sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama akibatnya sampai sekarang paradigma berpikir banyak orang tentang HIV/AIDS tetap berpijak pada pemahanan 35 tahun yang lalu ketika AIDS dipublikasikan pertama kali di AS.
Dalam raperda itu di Pasal 1 ayat 5 disebutkan: HumanImmunodeficiency Virusyang selanjutnya disebut HIV adalah virus penyebab AIDS yang digolongkan sebagai jenis yang disebut retrovirus yang menyerang sel darah putih yang melumpuhkan sistem kekebalan tubuh dan ditemukan dalam cairan tubuh penderita terutama dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu.
HIV sebagai retrorivirus bukan berarti virus ini menyerang sel darah putih. Disebut retrovirus karena HIV bisa menggandakan diri. Nah, HIV yang mempunyai RNA memerlukan DNA agar bisa menggandakan diri. HIV pun menyamar jadi protein ketika masuk ke sel darah putih. Di sel darah putih HIV menggandakan diri, sedangkan sel darah putih yang dijadika HIV sebagai ‘pabrik’ rusak. HIV yang baru digandakan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya.
Dalam sehari HIV bisa menggandakan diri antara 10 miliar sampai 1 triliun. Itu artnya sel darah putih banyang yang rusak. Pada satu titik sel darah putih banyak yang rusak itulah yang disebut masa AIDS yang ditandai dengan kemudahan penyakit masuk ke dalam tubuh. Penyakit itu disebut infeksi oportunistik, sepeti diare, TB, dll. Penyakit inilah yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS.
Di ayat 7 disebutkan: “Orang dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala penyakit ikutan.” Sebutan ODHA bukan akronim atau singkatan, tapi kata yaitu Odha (tidak semua huruf besar). Istilah ini usul dari pakar bahasa mendiang Prof Dr Anton M Moeliono (catatan kaki hal 17, Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Di Pasal 1 ayat 17 disebutkan: “Kelompok Risiko Tinggi adalah setiap orang atau badan yang dalam keadaan dan kapasitasnya paling menentukan keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, misalnya : (komunitas) orang terinfeksi dan keluarganya, Penjaja Seks Komersial, Pelanggan Penjaja Seks Komersial, Pemakai Nakotika Suntik dan lain-lain.” Pemakaian frasa ‘penjaja seks komersial’ sangat tidak manusiawi karena pekerja seks komersial (PSK) sama sekali tidak pernah menjajakan vaginanya. Justru laki-laki ‘hidung belang’ yang datang ke PSK (Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).
Pada pasal 1 ayat 34 disebutkan: “Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yang selanjutnya disebut NAPZA adalah obat-obatan/bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.”
Terminologi NAZA dan NAPZA tidak lagi dipakai karena tidak semua zat adiktif termasuk narkotika, seperti teh, kopi, tembakau, dll. Istilah yang pas adalah Narkoba (Narkotika dan bahan-bahan berbahaya).