Biar pun sudah ada 46 daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan tidak bisa mengendalikan penyebaran HIV, tapi Pemkot Medan pantang mundur. Rancangan peraturan (Ranperda) tentang penanggulangan HIV/AIDS Kota Medan sedang digodog. Selain itu perda-perda yang sudah ada pun hanya copy-paste dari satu perda ke perda lain (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/15/perda-aids-kota-medan-yang-akan-sia-sia/).
Kalau saja Pemkot Medan dan DPRD Kota Medan mau membuka mata tentang manfaat perda yang sudah ada dalam menanggulangi HIV/AIDS tentulah akan lain halnya. Kab Serdang Bedagai dan Kota Tanjungbalai sudah mempunyai perda. Apakah perda bisa menanggulangi penyebaran HIV di dua daerah itu? (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/27/ranperda-aids-medan-pemkot-medan-tidak-belajar-ke-kab-serdang-bedagai-dan-kota-tanjungbalai/)/
Salah satu materi yang akan masuk dalam Perda adalah: “Sejumlah tempat kerja di Kota Medan yang beresiko tinggi terhadap penyebaran penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) harus segera bersiap-siap melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.” (Atasi HIV/AIDS, Perda AIDS digagas, www.waspada.co.id, 29/5-2011).
Ada beberapa hal yang tidak jelas dari materi itu.
Pertama, apa yang dimaksud dengan tempat kerja yang berisiko terhadap penyebaran HIV? Risiko penularan atau penyebaran HIV tidak ada kaitannya dengan tempat (kerja).
Ternyata yang dimaksud dengan tempat berisiko, seperti dikatakan oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Medan, M. Faisal Nasution: ”Adapun lingkungan kerja beresiko tinggi itu antara lain tempat hiburan, panti pijat, rumah sakit, hingga kedai pangkas.”
Jika dikaitkan dengan risiko penularan HIV, maka semua tempat bisa menjadi tempat (praktek) hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang berisiko terjadi penularan HIV jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Kedua, risiko penularan HIV di tempat-tempat yang menyediakan transaksi seksual (bisa) terjadi kalau laki-laki tidak memakai kondom jika sanggama dengan ‘perempuan’ di tempat itu.
Ketiga, HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus. HIV menular. Sedangkan AIDS adalah suatu kondisi pada orang-orang yang tertular HIV setelah 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Keempat, HIV tidak terkait langsung dengan penyakit karena tidak ada penyakit yang khas menunjukkan seseorang tertular HIV.
Kelima, pemeriksaan kesehatan tidak ada kaitannya dengan infeksi HIV.
Keenam, untuk mengetahui status HV seseorang harus dilakukan dengan tes HIV.
Jika kelak dalam perda ada pasal yang mewajibkan pemeriksaan kesehatan secara berkala, maka langkah itu sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penyebaran HIV. Soalnya, status HIV karyawan di tempat-tempat tsb. Hanya bisa diketahui melalui tes HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/07/raperda-aids-kota-medan-penanggulangan-di-awang-awang/).
Tapi, perlu diingat biarpun dilakukan tes HIV tetap ada risiko karena tes HIV pada masa jendela (darah diambil di bawah tiga bulan setelah tertular HIV) bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIVada di dalam darah tapi tidak terdeteksi) tapi hasil tes nonreaktif (Lihat Gambar).
Masa Jendela
Yang menjadi persoalan adalah status HIV palsu. Yang terdeteksi negatif palsu merasa dirinya tidak tertular HIV sehingga tetap melakukan perilaku berisiko. Maka, terjadilah penyebaran HIV.
Thailand berhasil menekan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Program ini dijalankan dengan konsisten dan konsekuen berskala nasional.
Nah, pemantauan program dilakukan dengan survailans rutin tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks komersial (PSK). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Yang diberikan sanksi adalah germo mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.
Apakah pengelola atau germo ‘tempat-tempat berisiko terjadi penularan HIV di Medan’ akan memperoleh izin usaha dari Pemkot Medan? Kalau tidak maka program itu tidak bisa dijalankan.
Selain itu biar pun di Kota Medan ada aturan yang ketat, tapi laki-laki penduduk Kota Medan bisa saja melacur di luar daerah atau di luar negeri. Aceh, misalnya, dikabarkan beberapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penduduk asli disebutkan tertular di luar Aceh (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/21/aids-di-aceh-utara-%E2%80%98dibawa%E2%80%99-penduduk-dari-luar-aceh/).
Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkot Medan bisa menjamin semua laki-laki dewasa penduduk Kota Medan tidak akan ada yang melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan PSK di luar Kota Medan atau di luar negeri?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada masalah penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar terkait penyebaran HIV melalui hubungan seksual.
Disebutkan: “Ranperda itu diharapkan dapat mengatur pencegahan serta pengawasan terhadap rumah kos, hiburan, taman kota, dan hotel melati, untuk tidak menjadi tempat prostitusi terselubung.” Ini diskriminatif karena di hotel berbintang sekalipun praktek pelacuran tetap ada.
Lagi pula bagaimana mengawasi risiko penularan HIV karena dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV jika salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Disebutkan oleh Faisal: ”Jadi selain mengatur langkah pencegahan, kami jugamembuat punishment atas pelanggarannya.” Seperti dalam perda yang sudah ada sanksi pidana kurungan enam bulan atau denda Rp 50 juta, al. ditujukan kepada orang-orang yang dengan sengaja menularkan HIV. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Maka, ancaman ini hanyalah ‘macan kertas’ alias ‘macan ompong’.
Anggota Baleg DPRD Medan, Irwanto Tampubolon, mengatakan: “ …. Ranperda HIV/AIDS misalnya, berguna untuk meminimalisasi penyakit berbahaya tersebut.”
Tentu saja hal itu mustahil kalau kelak dalam perda itu tidak ada pasal yang konkret tentang cara mencegah penularan HIV dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Kita tunggu perda yang sudah disahkan kelak dan kita bandingkan dengan perda yang sudah ada: apakah tetap merupakan copy-paste atau justru lebih jelek dari perda yang sudah ada. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H