”Jangan ‘Jajan’ Dilokalisasi Cilodong, Pelacurnya Kena HIV.” Ini judul berita di Harian ”Pos Kota” (15/10-2010). Disebutkan: Hati hati bagi lelaki hidung belang yang suka ‘jajan’ di Penjaja Seks Komersial (PSK) asal Purwakarta. Dinas Kesehatan (Dinkes) Purwakarta mendata, setiap tahun penderita HIV/AIDS yang diidap PSK dilokalisasi Cilodong, Kec Bungursari, Purwakarta (Prov. Jawa Barat-pen.) terus meningkat. Data Dinkes Purwakarta: tahun 2007 terdeteksi 1 PSK lokalisasi Cikodong yang mengidap HIV/AIDS, tahun 2008 ada 2 dan 2009 terdeteksi 4. “Ini menandakan virus mematikan akibat praktek bebas di lokalisasi Cilodong sangat tinggi,” ujar Kasie Penanggulangan Penyakit (P2) Dinkes Purwakarta, dr Agung Darwis.
Lagi-lagi ada fakta yang luput dari perhatian yaitu yang menularkan HIV kepada PSK itu adalah laki-laki penduduk asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebabagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang atau duda. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Selain itu laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Disebutkan setiap tahun jumlah PSK yang terdeteksi HIV meningkat. Persoalan bukan pda PSK, tapi pada laki-laki penduduk asli atau pendatang di Purwakarta. Soalnya, mereka yang menularkan HIV kepada PSK. Jika jumlah PSK yang terdeteksi HIV meningkat tentulah kasus HIV di kalangan laki-laki ’hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK juga meningkat. Ini yang tidak dipahami banyak orang sehingga yang selalu disalahkan hanya PSK.
Kasus-kasus HIV dan AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat Purwakarta akan menjadi mata rantai penyebaran HIV sebagai ’bom waktu’ ledakan AIDS. Mata rantai kian potensial jika laki-laki penduduk Purwakarta sering melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV.
Laki-laki ’hidung belang’ enggan memakai kondom jika sanggama dengan PSK dengan 1001 macam alasan. Pemerintah Thailand berhasil menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran. Program ini memang diadopsi beberapa daerah provinsi, kabupaten dan kota melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Tapi, tidak ada mekanisme yang konkret dalam menerapkan kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ’hidung belang’ sehingga aturan itu pun hanya ’macan kertas’.
Disebutkan oleh Agung Darwis: Dokter penguji di laboratorium daerah Jabar mengumumkan sejumlah PSK di Purwakarta positif mengidap HIV/AIDS. Karena alasan melanggar HAM, petugas laboratorium Jabar enggan merilis nama PSK mengidap HIV/AIDS. Mereka hanya memberitahu melalui kode kesehatan.”
Pernyataan di atas tidak akurat karena alasan untuk tidak menyebut nama bukan karena HAM.
Pertama, kegiatan yang dilakukan terhadap PSK itu adalah survailans tes HIV yang menganut asas anonimitas (contoh darah tidak diberi kode atau tanda yang bisa menunjukkan nama pemilik darah) dan informed consent (persetujuan). Hasil pada survailans tes HIV berupa angka prevalensi (perbandingan yang HIV-positif dan HIV-negatif) hanya untuk keperluan epidemiologis, seperti meracang penanggulangan, penyediaan obat, dll.
Kedua, semua data tentang kesehatan seseorang, seperti jenis penyakit, tindakan yang dilakukan dokter, obat, dan hasil laboratorium adalah catatan medis (medical record) yang merupakan fakta privat sebagai rahasia jabatan dokter. Pembeberan catatan medis hanya boleh atas izin pasien, pasien sendiri yang membuka, terkait dengan wabah, dan perintah hakim melalui sidang pengadilan.
Risiko bagi laki-laki penduduk Purwakarta tertular HIV tidak hanya bisa terjadi di lokalisasi Cilodong karena tidak satu pun daerah di muka bumi yang bebas dari HIV/AIDS. Maka, bisa saja penduduk Purwakarta tertular HIV di kota lain atau di luar negeri.
Untuk itulah sudah saatnya Pemkab Purwakarta membalik paradigma dalam menanggulangi epidemi HIV. Tidak lagi menyasar PSK tapi mendorong penduduk agar tidak melakukan perilaku berisiko. Penduduk dianjurkan agar tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom di di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai.