Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pria “Hidung Belang” dan Germo Dihukum Berat, Apakah Akan Menghentikan Pelacuran?

6 Mei 2015   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14309037672133361947

"Belajar dari Swedia Atasi Prostitusi: Hukum Pria Hidung Belang dan Germo!” Ini judul berita di detikNews (3/5-2015). Ini adalah pernyataan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa sebagai tanggapan terhadap pelacuran yang kian marak melalui media sosial.

Dalam terminologi terkait pelacuran, pelacur atau pekerja seks yang ‘praktek’ di luar lokalisasi atau lokasi pelacuran dan rumah bordir dikenal sebagai pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung. Mereka itu al. cewek panggilan (dipanggil atau ‘kos’ di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan apartemen mewah), cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus-plus, ABG, cewek bispak, cewek bisyar, ayam kampus, ibu-ibu, dll.).

PSK tidak langsung ini juga ‘seumur’ dengan PSK langsung (PKS yang kasat mata di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir). Hanya saja PSK tidak langsung tidak kasat mata.

Lokalisasi Pelacuran

Praktek pelacuran bisa juga terjadi dalam bentuk pertemanan, persahabatan, ‘kumpul kebo’,  dan perselingkungan.

Tapi, selama ini masyarakat hanya “mengenal” PSK langsung, sedangkan PSK tidak langsung dianggap bukan PSK karena tidak mangkal di tempat-tempat yang disediakan untuk praktek pelacuran. Bahkan, di wilayah Cirebon, Jawa Barat, “tidak ada PSK” karena istilah yang dipakai di sana adalah ‘esek-esek’. Maka, tidaklah mengeherankan kalau laki-laki di sana tidak malu mengatakan baru pulang dari tempat esek-esek karena di masyarakat itu bukan pelacuran.

Di banyak negara pelacuran diregulasi dengan menempatkan PSK di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir. Berbagai ketentuan diberlakukan secara ketat. Melokalisir pelacuran menjadi salah satu langkah konkret memutur mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS dari masyarakat ke PSK dan dari PSK ke masyarakat melalui laki-laki ‘hidung belang’.

Dikatakan oleh Menteri Khofifah bahwa dalam tiga tahun terakhir, jumlah pengguna jasa prostitusi di Swedia bisa ditekan hingga 75 persen dan kaum Adam peminat  turun 80 persen. Inilah yang disebut Mensos Khofifah sebagai contoh penanganan prostitusi, yaitu dengan memberikan hukuman berat terhadap orang yang menggunakan jasa prostitusi tersebut.

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Mensos Khofifah: Bagaimana dan di mana laki-laki hidung belang itu ditangkap?

Sayang, dalam berita juga tidak ada penjelasannya tentang cara menangkap laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur atau membeli seks.

Apakah kemudian polisi merazia semua orang yang (sedang) melakukan hubungan seksual dan meminta suarat nikah di semua tempat di Swedia?

Tentu saja hal yang mustahil.

Lalu, bagaimana, dong?

Yang masuk akal adalah penerapan saksi terhadap pria ‘hidung belang’ dan germo dilakukan melalui pelacuran di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah-rumah bordir.

Nah, bagaimana, dong, cara polisi atau Satpol PP merazia praktek pelacuran yang terjad di sembarang tempat dan sembarang waktu untuk menerapkan  sanksi berupa hukuman jika pelacuran tidak dilokalisir?

Kemungkinan besar polisi dan Satpol PP akan merazia penginapan dan losmen serta hotel melati. Sementara itu pelacuran di tingkat menengah ke atas lolos dari jeratan hukum karena tidaklah mungkin polisi dan Satpol PP merazia hotel berbintang dan apartemen mewah dengan mengetuk semua pintu kamar.

Ini ajakan Mensos Khofifah: "Di Swedia saja bisa, masa di negara kita tidak bisa, marilah kita berdoa bersama para pemuka agama agar kita mampu seperti Swedia.”

‘Kumpul Kebo’

Hukum di Swedia menempatkan praktik prostitusi sebagai kekerasan terhadap wanita. Jeratan hukum tidak menargetkan kepada wanita, tapi kepada pria hidung belang dan mucikarinya.

Nah, di Indonesia sebaliknya. PSK langsung yang jadi terpidana.

Bahkan, dalam kaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Merauke, Papua, PSK langsung yang terdeteksi mengidap IMS dikirim ke bui karena Perda AIDS di sana mengatur hal itu.

Tapi, Pemkab Merauke lupa kalau laki-laki yang menularkan IMS, bisa juga sekaligus dengan HIV/AIDS, ke PSK langsung dan laki-laki yang tertular IMS, bisa juga sekaligus dengan HIV/AIDS, dari PSK langsung menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS di masyarakat.

Satu hal yang tidak muncul dalam berita itu adalah: Lalu, bagaimana cara laki-laki jomblo khususnya menyalurkan dorongan seksual di sana?

Apakah dengan sanksi yang berat itu kemudian penduduk Swedia hanya melakukan hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah?

Ini pertanyaan yang tidak terjawab dalam penjelasan Mensos Khofifah. Karena, apakah semua penduduk dewasa di Swedia, yang tidak menikah lalu menahan hasrat dorongan seksual dengan tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah selama dia belum menikah?

Kalau hal itu yang terjadi sungguh bermorallah penduduk Swedia dan memang pantas dicontoh.

Tapi, kemungkinan lain bisa jadi cowok dan cewek jomblo memilih free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963). Misalnya, dalam bentuk ‘kumpul kebo’ atau ikatan pertemanan dan persahabatan dalam bentuk lain dengan menjalankan free love.

Disebutkan lagi oleh Mensos: Pancasila sebagai dasar negara seharusnya mempu menjaga moral bangsa Indonesia. Sebab, pada lima sila di dalamnya mengandung ajaran moralitas yang luhur.

Bahkan, tidak ada orang yang tidak memeluk agama di negeri ini karena semua warga negara wajib memeluk agama yang diakui pemerintah. Tapi, koq pelacuran, perzinaan, perselingkuhan dan suka sama suka, serta perkosaan terus saja terjadi?

Agaknya, Mensos Khofifah hanya melihat penurunan pelacuran karena ada sanksi, tapi tidak melihat kondisi ril kehidupan masyarakat Swedia terkait dengan perilaku seks.

Kuncinya ada pada laki-laki karena laki-lakilah yang membeli seks melalui berbagai cara dan dengan cewek yang beragam pula. Maka, hanya dengan perubahan perilaku seks laki-lakilah pelacuran bisa ditanggulangi. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Ilustrasi (Repro: kamelspace.blogspot.com).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun