Danau Toba di Sumatera Utara menjadi salah satu dari 10 kawasan pariwisata baru yang dikembangkan pemerintah yang diperkuat melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Perpres ini mengatur masalah teknis terkait dengan pengembangan kawasan.
Dalam Perpres itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak masuk daftar dewan pengarah. Padahal, di kawasan pariwisata banyak masalah yang terkait langsung dengan aspek kesehatan, seperti penyebaran penyakit, kualitas air, dll. Kualitas air danau sangat erat kaitannya dengan pemicu penyakit diare, apalagi tingkat kandungan E-coli dalam air danau tinggi.
Sudah bukan rahasia umum lagi kalau daerah tujuan wisata (DTW) tidak bisa lepas dari judi, miras (minuman beralkohol), narkoba dan seks (industri hiburan malam dan pelacuran).
Industri hiburan malam dan pelacuran tertutup menjadi bagian dari penyebaran HIV/AIDS karena di sana terjadi hubungan seksual yang berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS, yaitu: dilakukan oleh orang-orang dengan cara berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah serta laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual yang berisiko.
Memang, tidak ada data yang akurat tentang jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di kecamatan-kecamatan yang masuk ke wilayah Kawasan Pariwisata Danau Toba karena kasus akan dicatat dalam lingkup kabupaten. Laporan Dinas Kesehatan Sumatera Utara pun tidak lengkap karena data hanya berdasarkan laporan dari dinas-dinas kesehatan kabupaten dan kota di Sumut. Yang melaporkan melaui SIHA (Sistem Informasi HIV/AIDS) hanya empat kabupaten, data selebihnya data dari media.
Tentu saja data yang ditampilkan berupa jumlah kasus HIV+ dan kasus kumulatif HIV/AIDS tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Angka yang dilaporkan hanya kasus yang terdeteksi yang digambarakan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Yang jadi masalah besar di Kawasan Pariwisata Danau Toba adalah aktivitas transaksi seks yang terselubung karena tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga pekerja seks komersial (PSK). Â Perempuan yang melayani laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dengan bayaran dikenal sebagai PSK tidak langsung. Mereka itu, al. cewek kafe, cewek disko, cewek pemijat plus-plus, anak sekolah, mahasiswi, dll. yang tidak bisa dilihat karena transaksi melalui kurir, ponsel dan media sosial.
Akibatnya, upaya penanggulangan berupa program untuk menurunkan jumlah penularan HIV baru tidak bisa dilakukan. Program ini dikenal sebagai ‘wajib memakai kondom’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Karena praktek PSK tidak dilokalisir, maka program pun tidak bisa dijalankan karena tidak bisa dilakukan intervensi. Soalnya, transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Ada beberapa kemungkinan terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kawasan Pariwisata Danau Toba, yaitu:
(1) PSK tidak langsung yang ‘praktek’ di Kawasan Pariwisata Danau Toba ada yang tidak mengidap HIV/AIDS, mereka kemudian tertular HIV dari penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang sudah mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini juga akan menularkan HIV kepada istrinya.