“Pilot Pakai Narkoba, Buwas: Kenakan Pidana Pembunuhan Berencana.” Judul berita di detiknews (13/1-2017) ini jadi aktual karena di Indonesia ada dua menteri yang justru ‘membela’ pemerkosa sekaligus membunuh korbannya secara beramai-ramai karena pelaku mengatakan berada di bawah pengaruh miras dan pornografi ketika melakukan kejahatan tersebut.
Jalan pikiran dua menteri itu bisa jadi bumerang karena orang pun terinspirasi jika hendak memerkosa atau melakukan kejahatan seksual dan kriminal menenggak miras dahulu dan menonton video porno. Dalam satu liputan di Tabloid ‘Mutiara’ di tahun 1980-an yaitu kasus perkosaan yang dilakukan oleh seorang pemuda terhadap seorang mahasiswi di Bogor, Jawa Barat, polisi mengatakan bahwa pelaku berdalih melakukan perkosaan karena pengaruh film yang baru ditontonnya di kawasan Tajur sebelum memerkosa.
Tapi, seorang psikolog di Jakarta yang penulis wawancarai mengatakan begini: Kalau benar film itu mendorong penonton melakukan perkosaan, maka semua yang menonton film itu akan memerkosa. Fakta menunjukkan hanya pemuda itu yang memerkosa. Itu artinya persoalan ada pada pemuda itu bukan pada film. Lagi pula tidak mungkin ada film porno diputar di bioskop. Belakangan pelaku mengaku bahwa dia sudah lama mengincar mahasiswi itu karena sering dia intip ketika mandi. Itu artinya dia mencari ‘kambing hitam’, sama seperti 14 pemerkosa dan pembunuh gadis berumur 14 tahun di Bengkulu.
Nah, jalan pikiran dua menteri itu pun jelas keliru karena bisa saja miras dan pornografi jadi alasan belasan pelaku yang memerkosa seorang gadis usia 14 tahun yang kemudian mereka bunuh. Lebih tidak masuk akal lagi salah satu menteri itu, yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PP dan PA) Yohana Yembise justru menyalahkan orang tua gadis malang itu. Lalu, apa kerja menteri yang ditugaskan melindungi anak dan perempuan itu?
Maka, analogi Buwas (Kepala BNN, Komjen Budi Waseso) terkait dengan pilot yang pakai narkoba atau miras sebagai pembunuhan berencana sangat tepat. Soalnya, di Amerika Serikat pengemudi yang tertangkap di bawah pengaruh alkohol di atas ambang batas juga didakwa sebagai pelaku percobaan pembunuhan berencana. Jika terjadi kecelakan, maka pengemudi yang memakai alkohol lewat ambang bagas didakwa sebagai pelaku pembunuhan berencana. Pilot dan pengemudi bisa mencelakai diri mereka dan penumpang serta pengguna jalan karena ulah mereka.
Kalau di negara lain ketika ada razia kendaraan bermotor yang pertama dites adalah pemakaian miras di Indonesia yang diperiksa adalah surat-surat, SIM dan STNK. Nah, dengan surat-surat lengkap pun bisa terjadi kecelakaan kalau pengemudi mabuk atau teler. Cara-cara razia kendaraan bermotor di Indonesia sudah saatnya diperbaiki yaitu mencari tahu kondisi fisik dan psikis pengemudi. Kalau ada sopir yang ketahuan pakai miras dan narkoba itu artinya polisi menyelamatkan puluhan bahkan ratusan nyawa.
Dalam berita disebutkan, menurut Buwas, pasal pembunuhan berencana bisa dikenakan karena si pilot sadar memakai narkoba dan akan menerbangkan pesawat terbang yang membawa puluhan bahkan bisa dua ratusan penumpang. Buwas juga dukung pencabutan lisensi pilot yang pakai narkoba.
Sebelum kasus pilot Susi Air yang ketahuan pakai narkoba ketika menerbangkan kapal terbang, beberapa pilot tertangkap sedang memakai narkoba sebelum terbang. Ada pula pilot Citilink yang ketahuan teler ketika dia menyerukan sesuatu melalui pengeras suara dari cockpit. Penumpang curiga karena ujaran pilot itu meracau persis seperti orang mabuk. Benar saja pilot itu memang lagi teler.
Apa pun alasannya tidak ada maaf bagi pelaku kejahatan, sopir angkutan umum, pilot, dan nakhoda kapal laut yang memakai narkoba dan teler selain dipecat serta digiring ke meja hijau karena mereka sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum yaitu (percobaan) pembunuhan berencana. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H