Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pertambangan (yang) Mengabaikan Hak Rakyat Lokal

27 Januari 2012   07:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:24 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Sebelum Penyelidikan Umum Dipublikasikan Areal yang Akan Diteliti

“Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa,adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini keterangan tentang penguasaan bahan galian di Pasal 1 UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Bertolak dari bunyi pasal 1 itu, maka konsekuensinya adalah rakyat (baca: masyarakat) harus mendapatkan hikmah dari pertambangan di daerahnya. Persoalannya adalah dalam UU tidak dijelaskan bagaimana Negara memberikan kemakmuran kepada rakyat. Hasil dari pertambangan yang diterima pemerintah al. melalui pembayaran pajak. Artinya, pajak masuk ke kas negara, baca pemerintah pusat, sehingga dibagi rata ke semua daerah di Indonesia

Akibatnya, rakyat di sekitar pertambangan, bahkan yang mempunyai hak atas tanah, tidak mendapatkan kesejahteraan secara langsung dari kegiatan pertambangan. Maka, muncullah protes yang berakhir pada kerusuhan.

Lihat saja di Timikia, Kab Mimika, Prov Papua yang terus bergolak terkait dengan pertambangan tembanga PT Freeport. Begitu pula dengan yang terjadi minggu ini di Bima, NTB.

Di Mimika rakyat dilarang mengais rezeki dengan mengambil batu di sungai di luar wilayah kuasa pertambangan. Sedangkan di Bima, NTB, warga Kec Lambu dan Kec Sape memprotes PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang melakukan eksploasi di atas lahan seluas 24.980 hektar berdasakan SK Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, No 188/45/357/004/2010 tanggal 28 April 2010. Masyarakat mengatakan bahwa PT SMN sudah memulai eksplorasi padahal perusahaan itu belum mengantongi izin pinjam pakai lahan hutan dari Menteri Kehutanan (detikNews, 28/12-2011).

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan pada pasal 19 disebutkan:

(1) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum tidak boleh melebihi 5.000 (lima ribu) hektare.

(2) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu Kuasa Pertambangan Eksplorasi tidak boleh melebihi 2.000 (dua ribu) hektare.

(3) Luas wiayah yang dapat diberikan untuk satu Kuasa Pertambangan Eksploitasi tidak boleh melebihi 1.000 (seribu) hektare.

Betolak PP No 32 Tahun 1969 tentulah izin Bupati Bima sudah melanggar hukum sesuai dengan pasal 19 karena area eksplorasi melebehi batas ketentuan. Dalam UU Pertambangan di pasal 2 ayat d disebutkan: “eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya dan sifat letakan bahan galian.”

Pasal 15 (3) Kuasa Pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri. Dalam Keputusan Menteri itu dapat diberikan ketentuan-ketentuan khususnya disamping apayang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini.

Karena menyangkut lahan atau tanah, ekosistem, dan gejolak sosial, maka izin kuasa pertambangan perlu mendapat persetujuan dari Kemenhut, Lingkungan Hidup, dan Kemenkumham. Agar proses lancar maka dibuat satu pintu.

Hak masyarakat lokal di wilayah pertambangan bisa diberikan sebagai pertamangan rakyat seperti yang diatur di pasal 2 huruf n UU Pertambangan: Pertambangan Rakyat: yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b, dan c seperti yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

Golongan bahan galian diatur pada pasal 3 ayat 1, yaitu: a. golongan bahan galian strategis, b. golongan bahan galian vital, dan c. golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b.

Yang jadi persoalan besar adalah rakyat tidak mempunyai akses untuk mendapatkan kuasa pertambangan rakyat. Kalau saja koperasi atau KUD (koperasi unit desa) berpihak kepada rakyat, maka bisa saja izin diurus oleh koperasi atau KUD.

Persoalan lain yang muncul adalah ganti rugi pemakaian lahan. Di pasal 25 ayat 1 UU Pertambangan disebut: Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu.

Celakanya, hak rakyat atas tanah adat atau tanah ulayat ‘diambil alih’ oleh Negara, sehingga hak rakyat terabaikan. Ini pun menjadi sumber pemicu kerusuhan karena ganti rugi tidak sampai secara langsung ke tangan rakyat.

Bertolak dari curat-marut izin kuasa pertambangan, maka sebelum penyelidikan umum dimulai pemerintah pusat atau daerah melakukan public expose atau mengeluarkan maklumat tentang wilayah yang akan dijadikan objek penyelidikan umum oleh perusahaan pemegang kuasa pertambangan.

Keberatan dari masyarakat datang sebelum izin dikeluarkan. Selain itu pemegang kuasa pertambangan tidak hanya melakukan analisis dampak lingkungan (amdal), tapi juga social engineering (rekayasa sosial) terkait dengan dampak eksploitasi sebuah kuasa pertambangan.

Bak kata pepatah ‘ayam mati di lumbung padi’, ternyata pepatah ini pun berlaku bagi rakyat di areal pertambangan. Kekayaan bumi dikeruk habis dengan meninggalkan kerusakan lingkungan, sedangkan rakyat hanya bisa ’gigit jari’ dan menanggung akibat buruk dari kerusakan lingkungan. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun