Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perda AIDS Kab Merauke: Laki-laki Tidak Pakai Kondom ‘Lolos’ dari Sanksi Pidana

8 Mei 2011   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Wilayah Kab Merauke, Papua, merupakan salah satu daerah dengan tingkat penemuan kasus HIV/AIDS yang tertinggi. Penyangkalan terhadap perilaku berisiko laki-laki lokal didengung-dengungkan. Nelayan Thailand dan pekerja seks komersial (PSK) asal P Jawa dituding sebagai penyebar HIV/AIDS.

Pemkab Merauke pun merancang peraturan daerah (Perda) untuk menanggulangi penyebaran IMS dan HIV/AIDS melalui Perda Kab Merauke No 5 Tahun 2003 tanggal 27 September 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS).

Ketika Perda tsb. disahkan di Merauke kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi. Perda ini merupakan perda kedua di Indonesia setelah Perda Kab Nabire. Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terus bertambah. Data Dinas Kesehatan Kabn Merauke menunjukkan sampai Desember 2009 kasus kumulatif HIV/AIDS tercatat 1.124, dari jumlah ini ada12 bayi berumur 0-1 tahun, 18 usia 1-4 tahun, 9 umur 5-9. Sedangkan kematian sampai November 2009 tercatat 275.

Salah satu penyangkalan yang sangat kuat di Merauke adalah mengabaikan perilaku seksual laki-laki lokal, penduduk asli. Pemerintah daerah ini lebih memilih menuding nelayan Thailand sebagai ‘biang keladi’ penyebaran HIV daripada melakukan intervensi terhadap perilaku seksual penduduk lokal. Padahal, jauh sebelum nelayan Thailand terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Merauke sudah ada kasus AIDS di sana (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/17/epidemi-hiv-di-irian-jaya/).

Faktor risiko (mode of transmission) utama penyebaran HIV di wilayah Kab Merauke adalah hubungan seksual. Untuk itulah perda dirancang untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui hubungan seksual dengan PSK. Tapi, perda ini dirancang dengan pijakan moral sehingga langkah untuk menanggulangi penyebaran HIV pun tidak konkret.

Untuk menyebutkan lokasi atau lokalisasi pelacuran pun perda ini memakai eufemisme dengan istilah ‘tempat-tempat di mana terjadi kegiatan transaksi seksual’. Istilah ini pun konotatif karena di mana saja transaksi seksual bisa terjadi.

Ide perda ini dan perda-perda lain di Indonesia tentang penanggulangan AIDS adalah program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang dikembangkan Thailand dengan skala nasional. Celakanya, perda itu hanya dicangkok dengan pondasi moral sehingga tidak bisa bekerja sesuai dengan harapan.

Di pasal 1 ayat idisebutkan: “Pencegahan adalah suatu upaya agar masyarakat tidak tertular virus Human Imunodeficiency Virus.” Celakanya, dalam perda ini tidak ada penjelasan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret.

Yang diatur di pasal-pasal 4, 5, 6 dan 7 adalah kewajiban dan larangan PSK, mucikari, pengelola bar, dan pelanggan PSK terkait dengan pemakaian kondom. Namun, tidak ada cara pemantauan yang konkret. Di pasal 9 hanya ada cara pemantuan yang tidak konkret yaitu: “ …. sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.”

Dalam satu bulan seorang PSK meladeni 75 laki-laki hidung belang (3 laki-laki per malam x 25 hari kerja). Jumlah laki-laki yang berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus tentulah banyak jika PSK yang ‘praktek’ di Merauke juga banyak.

Pada bagian ketentuan pidana di pasal 12 ayat 1 disebutkan: “Setiap Penjaja Seks Komersial, Pelanggan, Mucikari, Pengelola Bar dan Pramuria yang dengan sengaja melanggar Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000 (Lima juta rupiah).”

Penerapan sanksi pidana ini diskriminatif karena yang dihukum kurungan hanya PSK, sedangkan laki-laki yang tidak memakai kondon dan mucikari tidak dihukum.

Pemkab Merauke dan KPA Kab Merauke boleh saja menepuk dada karena sudah berhasil mengirim beberapa PSK ke bui (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/15/perda-aids-merauke-hanya-%E2%80%98menembak%E2%80%99-psk/).

Tapi, mereka lupa kalau laki-laki yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK yang dibui itu menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, baik kepada istrinya, pasangan seks lain dan PSK. Mata rantai bertambah karena ada pula penduduk lokal yang tertular IMS dan HIV dari PSK. Laki-laki ini pun menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

KPA Kab Merauke pun memberikan tanda bendera merah pada ‘tempat-tempat berisiko’ jika ada pramuria yang terdeteksi HIV, sedangkan bendera putih jika tidak ada yang terdeteksi HIV. Ini menyesatkan karena setiap saat bisa saja pramuria tertular HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/16/tindakan-kpa-merauke-papua-menyesatkan/).

Jika Pemkab Merauke dan KPA Kab Merauke tetap tidak melakukan intervensi terhadap perilaku seksual penduduk lokal maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Maka, tinggal menunggu ‘panen’ AIDS karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun