*Di Kab Tulungagung, Jawa Timur, Melindungi Masyarakat dari HIV/AIDS dengan ‘Hidup Bersih dan Sehat’
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Tulungagung, Jawa Timur, sampai April 2011 tercatat 341 dengan kematian 115. Agaknya, data inilah yang mendorong Pemkab Tulungagung menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda Kab Tulungagung No 25 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 31/12-2010.
Perda ini merupakan perda ke-50 di Indonesia dan perda ke-5 di Jawa Timur. Sama seperti perda-perda yang sudah ada yang dibuat dengan semangat moralitas, maka pasal-pasal yang muncul pun hanya sebatas normatif saja. Perda-perda yang ada merupakan ‘turunan’ dari perda sebelumnya, dikenal dengan istilah ‘copas’ atau copy-paste.
Coba simak pasal 3 ayat a ini: Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat.
Penularan HIV (bisa) terjadi melalui: (a) hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV, (b) transfusi darah yang mengandung HIV, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang mengandung HIV, dan (d) menyusui air susu ibu (ASI) perempuan pengidap HIV.
Apa kaitan langsung antara ‘perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan cara-cara penularan HIV? Tentu saja tidak ada. Maka, pasal itu jelas tidak menukik ke cara-cara penularan yang konkret.
Bahkan, pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) terhadap orang-orang yang tertular HIV (odha yaitu orang dengan HIV/AIDS) karena dikesankan odha tertular HIV karena perilaku hidup mereka tidak bersih dan tidak sehat. Stigma ini menohok ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, dan anak-anak yang tertular HIV dari ibunya.
Di pasal 4 ayat b disebutkan: “Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui meningkatkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks beresiko.”
Pasal ini merupakan ‘primadona’ di semua perda, tapi tidak satu pun perda-perda itu yang memberikan mekanisme penerapan dan pemantauannya. Pasal ini mengekor ke program ‘wajib kondom 100 persen’ yang dikembangkan Thailand dan berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.
Program itu jalan di Thailand karena pelacuran di sana diregulasi melalui lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Germo diberikan izin usaha. Secara rutin pekerja seks komersial (PSK) dites IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, klamdia, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.
Dikabarkan di Kab Tulungagung ada dua lokalisasi pelacuran yaitu Ngujang dan Ngunut dengan 345 PSK (http://www.tulungagung.go.id). Maka, pasal 4 ayat b dapat diterapkan di dua lokalisasi ini dengan cara yang konkret. Sayang, dalam perda tidak ada pasal yang merujuk ke lokalisasi pelacuran itu.
Yang jadi persoalan besar juga adalah praktek pelacuran di berbagai tempat di luar lokalisasi. PSK di luar lokalisasi tidak bisa dijangkau untuk program penanggulangan HIV/AIDS karena mereka beroperasi secara tertutup dengan mobilitas yang tinggi.
Nah, pasal 4 ayat b jelas bisa diterapkan di Tulungagung sehingga penyebaran HIV melalui kegiatan pelacuran akan bisa diturunkan.
Dampak dari pelacuran yang tidak menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Mereka ini tertular HIV dari suaminya. Suami-suami itu sanggama dengan PSK tanpa kondom.
Di pasal 4 ayat d disebutkan: “Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pengurangan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.” Lagi-lagi pasal ini tidak akan jalan karena tidak ada mekanisme yang konsisten untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survailans tes rutin terhadap perempuan hamil sehingga ada mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Jika disimak dari cara-cara penularan HIV, maka pencegahan yang ditawarkan di pasal 4 jelas tidak menyentuh akar persoalan. Maka, penyebaran HIV di Tulungagung akan terus terjadi.
Untuk penanggulangan disebutkan di pasal 5 ayat 1 yaitu “Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan perawatan, dukungan, pengobatan dan pendampingan terhadap ODHA dan OHIDHA yang dilakukan berdasakan pendekatan berbasis klinis, keluarga, kelompok dukungan serta masyarakat.” Kegiatan-kegiatan yang dimaksud dirinci di ayat 2, tapi sama sekali tidak menyentuh cara-cara penularan HIV.
Penanggulangan tentulah memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu mencegah agar tidak ada (lagi) penduduk yang tertular HIV. Ini dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan HIV dengan cara-cara yang konkret.
Penanggulangan mengikutkan peran serta masyarakat. Hal ini diatur di pasal 11 ayat 1. Di pasal ini pada huruf a dan b disebutkan: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara berperilaku hidup sehat dan meningkatkan ketahanan keluarga.”
Lagi-lagi penanggulangan yang ditawarkan pada pasal ini hanya bersifat normatif yang justru menyuburkan stigma terhadap odha.
Maka, ‘nasib’ perda ini pun akan sama dengan perda-perda yang lain karena tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara pencegahan yang konkret. ‘Perda induk’ yaitu Perda AIDS Prov Jawa Timur pun tidak menawarkan cara-cara pencegahan dan penanggulangan yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/21/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim/).
Jika penanggulangan HIV/AIDS di Kab Tulungagung tidak dilakukan dengan cara-cara yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Pemkab tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’. ***[Syaiful W. Harahap]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H