Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengidap HIV/AIDS di Medan (Akan) Menjadi Objek Publikasi

26 Desember 2010   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:23 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pengidap HIV/AIDS Jangan Dirahasiakan.” Ini judul berita di beritasumut.com (22/12-2010). Disebutkan: Walikota Medan Rahudman Harahap, didampingi Sekda Fitriyus, menjelaskan kalau ada PNS Pemko Medan dan masyarakat yang terkena HIV/AIDS jangan dirahasiakan, seharusnya dipublikasikan agar masyarakat tahu sehingga bisa dideteksi secara benar jumlah terkena penyakit tersebut di Kota Medan.

Pernyataan Wali Kota Medan itu mencerminkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS.

Pertama, secara hukum semua jenis penyakit merupakan catatan medis (medical record) yang bersifat rahasia. Identitas, jenis penyakit dan tindakan dokter merupakan rahasia yang bersifat privat. Pembeberapa catatan medis hanya bisa dilakukan atas izin ybs., karena terkait dengan wabah (Catatan: HIV/AIDS bukan wabah), dan atas perintah hakim melalui sidang pengadilan. Pembeberan catatan medis di luar ketentuan merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Celakanya, pernyataan ini disampiakan Wali Kota saat membuka Rapat Koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Kota Medan Tahun 2010.

Kedua, yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV adalah banyak orang yang sudah mengidap HIV justru tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun estela tertular HIV). Orang-orang yang sudah terdeteksi HIV tidak perlu dipublikasikan karena mereka sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Kondisi ini hanya bisa dicapai jira tes HIV dilakukan sesuai dengan estándar prosedur operasi tes HIV yang baku, yaitu: konseling sebelum dan sesudah tes, anonimitas (tidak ada tanda di contoh darah yang bisa diketahui orang lain kecuali konselor dan dokter), konfidensialitas (identitas dirahasiakan hanya diketahui konselor dan dokter), informed consent (persetujuan tes estela memahami HIV dan AIDS secara benar). Pengalaman menunjukkan pekerja seks komersial (PSK) dan waria yang dirazia dan dipaksa menjalani tes HIV akan menutupi status HIV mereka.

Ketiga, tidak ada cara yang efektif untuk mengetahui jumlah pasti penduduk yang sudah mengidap HIV karena mereka tidak menyadarinya, tidak ada pula tanda-tanda yang khas AIDS, sertya tidak ada keluhan kesehatan yang khas AIDS pada diri mereka. Yang jelas epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya bagian kecil (yang mencuat di permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan es di bawah permukaan laut).

Ada ironi di negeri ini yaitu orang-orang yang mengidap TB selalul disembunyikan oleh keluarga. Ini membuat penyebaran baksil TB tidak terkontrol karena baksil TB bisa menular melalui udara ketika pengidap TB batuk-batuk. Sebaliknya, orang yang mengidap HIV dipaksa keluar untuk dipublikasikan. Padahal, tidak ada risiko penularan HIV melalui pergaulan sehari-hari. Celakanya, lagi pengidap HIV yang dipublikasikan akan mendapat stigma (cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan), bahkan dari kalangan medis.

Disebutkan pula, Wali Kota mengatakan: "AIDS sangat mudah tertular antara lain dengan lewat seks bebas atau gonta-ganti pasangan, bisa lewat suntikan bahkan lewat pisau cukur dan lain sebagainya."

Pernyataan ini tidak akurat karena HIV tidak mudah menular. Probabilitas penularan HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang mengidap HIV adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali sanggama hanya ada satu kali kemungkinan terjadi penularan. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan. Maka, setiap hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV berisiko tertular HIV. Penularan virus hepatitis B jauh lebih mudah daripada penularan HIV, padahal penularan HIV dan virus hepatitis B persis sama dan serupa.

Penggunaan istilah ’seks bebas’ juga tidak pas karena kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina atau pelacuran maka tidak ada kaitan langsung antara zina dan pelacuran dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Penularan HIV bukan karena ganti-ganti pasangan, tapi karena hubungan seksual dilakukan tanpa kondom dengan yang sudah mengidap HIV di dalam atau di luar nikah. Ganti-ganti pasangan adalah perilaku berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV.

Sampai sekarang belum ada laporan tentang kasus penularan HIV melalui pisau cukur.

Disebutkan pula: ” ..... yang paling mengahawatirkan hingga sekarang belum belum dapat obat untuk penyembuhannya. Untuk itu upaya yang harus dikembangkan adalah melakukan upaya-upaya pencegahan secara intensif lewat kampanye-kampanye teratur dan berkelanjutan dilakukan secara massal sejak dini, terutama kepada para remaja dan pemuda serta pelajar.”

Karena AIDS bukan penyakit maka tidak ada obatnya. Tapi, ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Darah tinggi dan diabetes pun tidak bisa disembuhkan biar pun ada obatnya. Pengetahuan yang komprehensif berupa cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat menjadi kunci untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Celakanya, materi kampanye dan penyuluhan HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ’jajan’, ’seks bebas’, selingkuh, waria, homoseksual, dll. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran, ’jajan’, ’seks bebas’, selingkuh, waria, homoseksual dengan penularan HIV melalui hubungan seksual. Dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom.

Rahudman mengharapkan, tahun 2011 Pemko Medan sudah memiliki perda tentang HIV dan AIDS. Sayangnya, Ranperda AIDS Kota Medan sama sekali tidak menawarkan cara-cara penanggulangan dan pencegahan yang konkret (Lihat: Syaiful W. Harahap, Tanggapan terhadap Rancangan Perda AIDS Kota Medan, http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/tanggapan-terhadap-rancangan-perda-aids-kota-medan/).

Pembuat Ranperda AIDS Kota Medan menutup mata terhadap (praktek) pelacuran di Kota Medan serta perilaku penduduk Medan. Ranperda AIDS itu mengesankan di Medan tidak ada (praktek) pelacuaran secara terbuka dan tertutup.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemko Medan bisa menjamin bahwa tidak akan ada laki-laki penduduk asli dan pedatang di Medan yang melakukan hubungan seksual berisiko di Medan, di luar Medan atau di luar negeri?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV terkait dengan faktor risiko hubungan seksual di Medan. Pemko Medan tinggal menanggulangi penyebaran melalui penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik yang bergantian, dan transfusi darah.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemko Medan yaitu penyebaran HIV melalui laki-laki yang tertular HIV di Medan, di luar Medan atau di luar negeri.

Ranperda AIDS Kota Medan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan epidemi HIV di tataran realitas sosial. Perda itu kelak akan sama nasibnya dengan 41 perda sejenis yang sudah ada di Indonesia. Pembuatan perda yang menghabiskan uang rakyat tidak lebih bagaikan ’menggantang asap’. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun