Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

‘Penderita HIV’ Meninggal di Kota Palembang, Sumatera Selatan

23 Juni 2011   23:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:14 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 540 ternyata Pemkot Palembang, dalam hal ini Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Palembang, tidak memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV di  kota itu. Dalam beritaAstaga, 27 Warga Palembang Terinfeksi HIV” (Tribunnews.com, 23/6-2011) tidak ada gambaran riil tentang langkah konkret yang dilakukan untuk menanggulangi penyebaran HIV.

Padahal, dari Januari sampai Juni 2011 saja terdeteksi 27 penduduk yang tertular HIV. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan bagaimana kasus ini terdeteksi.

Disebutkan: ”Berdasarkan data, total penderita yang meninggal selama beberapa tahun terakhir ini sebanyak 57 penderita, terdiri 12 orang penderita HIV dan 45 orang penderita AIDS.” Ini informasi baru karena kematian pada orang dengan HIV/AIDS (odha) umumnya terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular HIV antara 5 – 15 tahun.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Palembang, H Zailani Ud, SIP, mengatakan: "Angka ini akan terus bertambah, karena ada penderita yang tidak mau diperiksa."

Pernyataan ini menyesatkan karena banyak orang justru tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Kondisi ini berlangsung secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Pada rentang waktu inilah terjadi penyebaran HIV di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Yang menjadi persoalan besar adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Perda AIDS Kota Palembang pun tidak memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/21/menyoal-kiprah-perda-aids-palembang/).

Disebutkan: Terkait identitas penderita, Zailani tidak bersedia membukanya karena berdasarkan kesepakatan internasional justru harus melindungi dan menyembunyikan karena menghormati Hak-Hak Azazi Manusia (HAM).

Pernyataan di atas juga bisa memojokkan orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS karena ada kesan mereka dilindungi. Padahal, informasi identitas penderita semua jenis penyakit sifatnya rahasia sehingga pembeberan identitas hanya boleh dilakukan dengan izin pasien atau perintah hakim melalui sidang pengadilan.

Disebutkan pula: ”Namun begitu, kepada penderita diberikan pemahaman agar tidak menyebarkan virus tersebut kepada orang lain.”

Selama tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka orang-orang yang sudah terdeteksi HIV akan berjanji pada dirinya: ”Stop penyebaran HIV mulai dari diri saya!”

Yang menjadi persoalan besar adalah tes HIV yang dilakukan secara paksa, misalnya, terhadap pekerja seks komersial (PSK) yang dirazia karena tidak tertutup kemungkinan mereka melampiaskan kekesalannya. Ini terjadi karena HIV pada diri mereka justru ditularkan oleh laki-laki.

Ketika kasus HIV/AIDS terus terdeteksi, maka yang perlu dilakukan oleh Pemkot Palembang adalah membuat aturan (regulasi) yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV.

Yang perlu diperhatikan adalah perilaku seksual laki-laki dewasa. Biar pun di Kota Palembang tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran itu bukan jaminan bahwa di Kota Palembang tidak ada praktek pelacuran.

Maka, Pemkot perlu melakukan intervensi yaitu mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika:

(a). Melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kota Palembang, di luar wilayah Kota Palembang, atau di luar negeri.

(b). Melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kota Palembang, di luar wilayah Kota Palembang, atau di luar negeri.

Jika langkah di atas tidak bisa dilakukan, maka langkah berikutnya adalah mewajibkan suami yang pernah melakukan perilaku (a) atau (b) atau dua-duanya memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.

Langkah terakhir adalah menerapkan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Namun, harus ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di kalangan perempuan hamil.

Persoalan lain terkait dengan penyebaran HIV di Kota Palembang terkait dengan waria (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/04/22/aids-di-kota-palembang-menyibak-potensi-penyebaran-melalui-waria/).

Jika Pemkot Palembang tetap mengabaikan perilaku seksual sebagian laki-laki maka mata rantai penyebaran HIV kian banyak dan hasilnya kelak adalah ledakan AIDS karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun