Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ’Mengekor’ ke Ekor Program Thailand

4 Maret 2012   01:57 Diperbarui: 3 Mei 2022   11:30 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: sp.unifesp.br)

* Pemerintah Gagal Menanggulangi HIV/AIDS karena Dijalankan dengan Pijakan Moral

“Pemerintah kembali mengakui gagal dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Kegagalan itu disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan HIV secara komprensif di kalangan muda dan rendahnya penggunaan kondom pada kelompok beresiko.” (Pemerintah Kembali Gagal Atasi HIV/Aids, www.mediaindonesia.com, 2/3-2012).

Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono. Lebih lanjut Agung mengatakan: "Pengetahuan soal HIV di kalangan muda masih rendah. Itulah sebabnya penularan infkesi baru HIV di kalangan muda sangat tinggi.”

Ada beberapa hal yang tidak luput dari perhatian pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS terkait dengan pernyataan Agung Laksono ini.

Mitos AIDS

Pertama, kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada kalangan muda terjadi pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian. Mereka menjalani tes wajib ketika hendak masuk panti atau pusat rehabilitasi narkoba.

Kedua, pengetahun kalangan muda (dan dewasa) terhadap HIV/AIDS sangat rendah karena materi komunikasi, informasi dan edukasi HIV/AIDS tidak akurat. Ini terjadi karena materi KIE dibumbui dan dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang ditangkap masyarakat dari KIE hanya mitos (anggapan yang salah). 

Disebutkan target pengetahuan HIV secara komprehensif pada kelompok usia 15-24 tahun hanya berhasil mencapai 20,6% dari target 75% yang ditetapkan.

Pertanyaannya: Apakah materi HIV/AIDS yang disampaikan kepada kalangan muda konkret? Biar pun target tercapai kalau informasi HIV/AIDS yang disampaikan dibumbui dengan moral, maka kalangan muda tidak akan mengetahui cara-cara pencegahan HIV yang konkret.

Ketiga, kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi pada kalangan laki-laki dewasa yang tertular HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual karena tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa.

Keempat, kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi pada kalangan perempuan dewasa karena tidak ada mekanisme yang sistematis dan konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan dewasa. 

Kelima, mata rantai penyebaran HIV tidak dilakukan oleh kalangan muda karena mereka belum mempunyai istri. Yang menjadi mata rantai adalah laki-laki dewasa yang bisa dibuktikan dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Sampai Desember 2010 sudah dilaporkan 1.970 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV.

Insiden infeksi HIV baru pada kalangan muda, terutama remaja putra, terjadi karena tidak ada informasi yang akurat tentang cara pencegahan HIV melalui hubungan seksual yang bisa mereka jadikan sebagai pengetahuan tentang seksualitas. 

Masa remaja dorongan hasrat seks sangat tinggi. Libido itu harus disalurkan melalui cara-cara yang terkait dengan seks, seperti hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, seks oral dan seks anal) dan onani (masturbasi). Sayang, informasi tentang cara-cara penyalurah dorongan seks yang aman tidak pernah disampaikan secara komprehensif kepada remaja. Akibatnya, ada remaja yang melakukan hubungan seksual berisiko yaitu dilakukan tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). 

Akan lebih arif kalau pejabat, pemuka agama dan pakar menyampaikan cara yang mereka lakukan ketika remaja untuk menahan dorongan seksual sehingga tidak dilakukan dengan PSK atau tidak melakukan zina sebelum dan selama menikah. 

’Imtaq’

Disebutkan ”rendahnya penggunaan kondom pada kelompok beresiko”. Ini tidak jelas siapa yang dimaksud dengan kelompok berisiko. Di Indonesia dikesankan kelompok berisiko adalah PSK. Ini tidak akurat karena risiko tertular HIV bukan ada pada kelompok, tapi orang per orang. Seorang PSK pun bisa tidak pada posisi berisiko kalau dia hanya meladeni laki-laki ’hidung belang’ yang memakai kondom. 

Persoalan terkait dengan kondom adalah:

(1) Di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap sosialisasi kondom (bukan kondomisasi) sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

(2) Di Indonesia dikesankan kondom mendorong orang berzina atau melacur. Jika asumsi ini benar tentulah tidak ada istri yang tertular HIV dari suaminya karena suami-suami itu memakai kondom ketika berzina atau melacur. Fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS pada istri terus terdeteksi. Ini mematahkan asumsi yang dikembangkan dengan pijakan moral itu.

(3) Di banyak daerah di Indonesia dikesankan tidak ada (praktek) pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran. Bahkan, ada daerah yang menepuk dada karena mereka mempunyai peraturan daerah (perda) anti pelacuran atau anti maksiat. Mereka menganggap tidak ada lagi (praktek) pelacuran di daerahnya.

(4) Bagi daerah yang ada lokasi pelacuran tidak ada mekanisme yang konkret dalam menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika sanggama dengan PSK. Di Kab Merauke, Papua, yang dihukum justru PSK, padahal yang menularkan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) atau HIV atau dua-duanya sekaligus justru laki-laki ’hidung belang’.

(5) Intervensi terhadap perilaku laki-laki ’hidung belang’ agar memakai kondom jika sanggama dengan PSK pun tidak konkret. Dari 51 dari 56 Perda AIDS yang ada di Indonesia tidak memuat pasal tentang mekanisme yang konkret untuk menerapkan keharusan memakai kondom (catatan: 5 perda tidak bisa didapatkan copy-nya oleh penulis-pen.). 

Bandingkan dengan Thailand yang sudah membuktikan bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir melalui program ’wajib kondom 100 persen’. 

Perda-perda AIDS di Indonesia mengacu ke program Thailand ini, tapi diadaptasi dengan setengah hati. Lagi pula program itu merupakan program terakhir (ekor) dari lima program yang dijalankan secara sistematis dengan skala nasional di Thailand. Celakanya, Indonesia mengekor ke ekor program Thailand (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/27/jangan-hanya-sekadar-menjiplak-thailand/).  

Semua perda mengedepankan moral dan agama sebagai cara mencegah HIV. Pada Perda AIDS Prov Riau, misalnya, disebutkan cara mencegah HIV adalah dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’ (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/menyibak-peran-perda-aids-riau-dalam-penanggulangan-aids-riau/).  

Pertanyaannya:

  1. Apa alat ukur ‘iman dan taqwa’?
  2. Siapa yang berhak mengukur tingkat ‘iman dan taqwa’?
  3. Apa takaran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegah penularan HIV?

Lagi pula pasal itu mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV karena ’iman dan taqwa’ mereka tidak kuat. Ini merupakan hujatan kepada orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, dan anak-anak yang tertular HIV dari ibunya.

Kondom Perempuan

Program utama atau pertama yang dijalankan Thailand adalah menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa (Thamarak Karnpisit: Integration of AIDS into National Development Planning. The Case of Thailand, UNAIDS, December 2000). 

Disebutkan oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih bahwa terget penggunaan kondom pada kelompok perempuan beresiko sebanyak 35% sudah tercapai. 

Pernyataan Menkes ini mengesankan yang memakai kondom justru perempuan berisiko, dalam hal ini PSK. Apakah penyaluran kondom perempuan untuk PSK sudah merata di Indonesia?

Disebutan pula ”Namun target pada kelompok laki-laki beresiko hanya tercapai 14% dari target 20% yang telah dicanangkan.” Ini terjadi karena tidak ada regulasi dengan pemantauan yang konkret seperti di Thailand. 

Program pemakain kondom pada laki-laki berisiko tidak akan tercapai karena tidak ada regulasi dan pemantauan yang konkret. Thailand memberikan izin usaha kepada germo atau mucikari. Secara rutin ada survailans tes IMS terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka ada sanksi bagi germo mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.

Di beberapa daerah di Indonesia dengan dukungan perda yang kena sanksi adalah PSK. Padahal, posisi tawa PSK sangat rendah untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama. Pemkab Merauke, misalnya, sudah berhasil memenjarakan bebeapa PSK (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/31/aids-di-merauke-papua-psk-digiring-ke-bui-pelanggan-suami-menyebarkan-hiv-ke-istri/).  

Tanpa disadari oleh Pemkab Merauke laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS, bahkan kalau PSK itu juga mengidap HIV maka sekaligus menyebarkan HIV. Lagi pula seorang PSK dibui, posisinya akan digantikan puluhan PSK ’baru’. 

Disebutkan lagi: ”Peningkatan infeksi baru HIV ini tidak hanya terjadi pada kelompok beresiko saja, tetapi pada infkesi pada ibu rumah tangga dan bayi juga mengalami peningkatan serupa.”

Tapi, ada fakta yang digelapkan yaitu yang menjadi persoalan bukan ibu rumah tangga itu tapi suami mereka. Ibu-ibu rumah tangga di Indonesia dijadikan sebagai sub-ordinat laki-laki karena pemahaman yang salah terkait dengan tradisi dan keyakinan.

Agung Laksono mengatakan bahwa ”Masih masifnya kasus infeksi baru HIV di Tanah Air, menurut Agung sangat mengancam upaya pencapaian target Indonesia bebas penularan infeksi baru pada 2015.”

Pernyataan Agung Laksono itu jelas utopia. Khayalan. Soalnya, di masyarakat banyak orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi sehingga penyebaran HIV akan terus terjadi sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Penyebaran itu akan terus terjadi jika penanggulangan HIV/AIDS tetap berpijak pada moral karena fakta tentang cara-cara pencegahan yang konkret tidak sampai ke masyarakat.

Sebagai negara ketiga tercepat di Asia dalam hal penyebaran HIV, maka Indonesia tinggal menunggu hari saja untuk ’memanen’ ledakan AIDS. Padahal, tahun 2001 UNAIDS sudah memperingatkan Indonesia. Sayang, peringatan itu dianggap angin lalu (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).  

Jika pemerintah mengaku gagal, maka: Siapa lagi yang kita harapkan bisa menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia? Mungkin jawabannya bisa ditanya ke rumput yang bergoyang, seperti syair lagu yang dilantunkan Ebiet G. Ade. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun