Cara-cara yang ditempuh untuk menekan laju penyebaran HIV melalui hubungan seksual tetap membidik pekerja seks komersial (PSK). Ini terjadi karena selama ini PSK menjadi ‘sasaran tembak’ yang empuk. Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian yaitu HIV/AIDS pada PSK justru ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal, asli atau pendatang. Setidaknya inilah yang terjadi di Kab Indragiri Hilir, Prov Riau.
Kasus kumulatif HIV/ADS di Inhil sampai Januari 2011 mencapai 22, sedangkan 17 di antaranya meninggal. Tapi, perlu diingat kasus ini tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat karena banyak kasus yang tidak terdeteksi. Soalnya, orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular).
Dikabarkan, “ …. untuk untuk menekan angka penyebaran virus HIV di Kabupaten Inhil, Komisi Penanggulangan AIDS(KPA) Inhil terus melakukan sosialiasi ke sejumlah lokalisasi yang ada di Tembilahan dan sejumlah kecamatan. Melalui program tersebut, KPA mencoba melakukan pendekatan kepada PSK untuk memeriksakan kesehatan mereka, terutama terhadap indikasi terjangkit virus HIV.” (Pengidap HIV/AIDS Inhil Meningkat, riaupos.co.id, 3/2-2011).
Pertama, mendeteksi (antibody) HIV di kalangan PSK harus melihat masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular sampai tiga bulan. Jika PSK menjlani tes pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi belum ada antibody) atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tap terdeteksi). Kalau yang terjadi negatif palsu makan akan menjadi sumber bencana karena PSK yang terdeteksi HIV-negatif palsu itu tetap ‘beroperasi’. Biar pun pada masa jendela PSK sudah bisa menularkan HIV kepada laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom.
Kedua, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK yang terdeteksi HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, remaja atau duda.
Ketiga, ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang sudah tertular HIV. Laki-laki ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HV.
Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Celakanya, tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi HIV di kalangan laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko.
Sekretaris KPA Indragiri Hilir, Umar Pulungan, mengatakan: “ …. para penderita HIV yang berhasil didata KPA bersama Diskes mau diobati, diberikan motivasi dan memiliki keinginan untuk sembuh.” Ini tidak akurat karena tidak ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS. Obat antiretroviral (ARV) hanya menekan laju perkembangan HIV di dalam darah.
Yang menjadi persoalan adalah perilaku PSK ketika meladeni laki-laki ‘hidung belang’. Jika PSK meladeni laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom maka ada risiko penularan HIV. Kondisi inilah yang mendorong penyebaran HIV.
Prov Riau sendiri sudah menerbitakan peraturan daerah (Perda) yaitu Perda Prov Riau No 4 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Sayang, tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV dalam perda tsb.
Untuk itulah perlu ada langkah yang konkret untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ selalu memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Ini akan menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa yang pada gilirannya akan menurunkan penularan HIV di Inhil. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H