* Pada rentang waktu untuk mencapai perubahan itu sudah terjadi insiden infeksi HIV baru
"Jumlah pengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) di Kota Manado, tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sulawesi Utara.” Ini lead di berita “Manado 'Jawara' Pengidap HIV di Sulut” (www.republika.co.id, 5/5-2012).
Ada bebarapa faktor yang membuat kasus HIV/AIDS banyak tercatat di Kota Manado. Tapi, wartawan tidak menggalinya, yaitu:
(a) Mengapa kasus HIV/AIDS banyak tercatat di Kota Manado?
(b) Apakah semua kasus HIV/AIDS yang terdaftar di Kota Manado terdeteksi pada penduduk Kota Manado?
(c) Bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS yang tercatat di Kota Manado itu terdeteksi?
(d). Apakah fasilitas tes HIV tersebar luas di semua kabupaten dan kota di Sulut?
(e) Apakah institusi penjangkau, seperti LSM, tersebar luas di semua wilayah di Sulut?
Kalau wartawan mengembangkan jawaban dari lima pertanyaan di atas, maka judul berita itu tidak akan tepat. Tapi, karena wartawan tidak mengeksplorasi data, maka berita pun tidak menggambarkan realitas sosial terkait dengan epidemi HIV/AIDS.
Dikabarkan, sampai Januari 2012 kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut mencapai 979 yang terdiri atas 354 HIV dan 625 AIDS. Dari 979 ini 577 kasus HIV/AIDS terdeteksi pada perempuan, sedangkan pada laki-laki 402.
Lima besar kabupaten/kota dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak adalah: Kota Manado (382), Kota Bitung (226),Kabupaten Minahasa (98), Kabupaten Minahasa Utara (96), dan Kota Tomohon (64).
Menurut Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Provinsi Sulawesi Utara, dr Tangel-Kairupan: "Tak bisa dipungkiri bahwa Kota Manado menjadi pusat perbelanjaan, sekaligus juga pusat hiburan di daerah ini. Kondisi ini juga yang menyebabkan kerentanan.”
Kerentanan terhadap penularan HIV terkait langsung dengan perilaku seksual orang per orang. Tidak ada kaitan langsung antara pusat hiburan dengan penularan HIV. Di negara yang sama sekali tidak ada hiburan malam pun kasus HIV/AIDS tetap ada. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus HIV/AIDS.
Memang Tangel juga mengatakan: ” .... majunya dunia pariwisata dan hiburan tak menjadi persoalan apabila terjadi perubahan pada pola perilaku.” Faktor risiko penularan HIV di Sulut dilaporkan 773 melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom.
Maka, masih menurut Tangel: "Intervensi yang harus dilakukan adalah mengubah perilaku dari tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks menjadi pemakai kondom. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi."
Pertanyaannya: Berapa waktu yang dibutuhkan agarperilaku penduduk Sulut, terutama laki-laki dewasa, berubah dari tidak memakai kondom pada hubungan seksual berisko menjadi memakai kondom?
Yang luput dari perhatian adalah: pada rentang waktu untuk mencapai perubahan perilaku sudah terjadi insiden infeksi HIV baru (di hulu).
Disebutkan dalam berita: ”Guna mengubah perilaku para warga, menurutnya harus disosialisasikan terus menerus dan butuh waktu lama.”
Maka, dalam rentang ’waktu lama’ itu penyebaran HIV, terutama melalaui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah terus terjadi.
Buktinya dapat dilihat dari kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks, akan terus terjadi. Dalam Perda AIDS Prov Sulut pun tidak ada pasal yang konkret yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks (Lihat).
Jika insiden infeksi HIV baru terus terjadi, maka penyebaran HIV di Sulut pun akan terus terjadi tanpa bisa dihambat. Tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H