"Iniwarningkepada pelanggan karena dengan modus (kos di hotel) ini tidak dapat terdeteksi siapa PSK yang positif HIV." Ini pernyataan pegiat HIV Aids dari PKBI Jawa Tengah, Andreas Bambang Santoso, dalam berita “PSK Kos di Hotel, Aktivis Sulit Pantau HIV/AIDS” (kompas.com, 29 Maret 2015).
Jika langkah penanggulangan dilakukan berpijak pada pernyataan pegiat di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi persoalan besar yang pada akhirnya tidak berguna, yaitu:
Pertama, ketika tes HIV dilakukan terhadap PSK, maka ada dua kemungkinan hasil tes negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi tes nonreaktif). Ini terjadi karena darah PSK itu diambil pada masa jendela yaitu PSK tsb. tertular HIV di bawah tiga bulan. Nah, kalau ini yang terjadi maka penyebaran HIV/AIDS akan banyak karena PSK yang terdeteksi HIV negatif palsu akan melayani puluhan bahkan ratusan laki-laki melakukan hubungan seksual tanpa kondom.
Kedua, sebelum PSK menjalani tes sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang melukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakt secara horizonal al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ketiga, ada laki-laki yang menularkan HIV ke PSK. Laki-laki ini juga menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakt secara horizonal al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang menjadi persoalan besar bukan PSK, yang mengidap atau tidak mengidap HIV/AIDS, tapi: (a) Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK, dan (b) Laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Yang perlu dijalankan oleh para pegiat AIDS bukan melakukan tes HIV kepada PSK, tapi merancang regulasi yang dijadikan peraturan untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat yaitu konseling dan tes HIV pasangan yaitu jika ada perempuan hamil maka pasangan atau suaminya wajib mendampingi istri menjalani konseling HIV/AIDS. Jika ada indikasi pasangan atau suami dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, maka istri dan pasangan wajib menjalani tes HIV.
Sedangkan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS bukan dengan cara melakukan tes HIV terhadap PSK, tapi melakukan intervensi dalam bentuk regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Disebutkan bahwa: “ .... satu bulan terakhir di kota wisata Bandungan, Kab Semarang, Jateng, para pekerja seks komersial (PSK) meninggalkan rumah-rumah kos menuju hotel, yang sebagian besar merupakan kelas melati.”
Ada pernyataan “Kondisi itu dikeluhkan masyarakat, tetapi juga para aktivis HIV/AIDS. Sebab para PSK yang indekos di hotel tidak bisa dijangkau oleh akses layanan tes infeksi menular seksual (IMS) dan HIV.”
Tidak jelas mengapa masyarakat mengeluh ketika PSK pindah dari tempat kos ke hotel-hotel melati. Kalau alasan mereka karena ekonomi itu masuk akal. Tapi, kalau terkait dengan pernyataan pegiat AIDS itu tentulah ironis. Praktek pelacuran di rumah-rumah kos jauh lebih buruk daripada PSK itu melacur di hotel-hotel melati. Tapi, mengapa masyarakat mengeluh?
Tes IMS dan tes HIV terhadap PSK itu tidak ada manfaatnya karena sebelum mereka menjalani tes sudah puluhan bahkan ratusan laki-laki yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. ***[Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H