Pemulangan pekerja seks komersial (PSK) dari lokasi pelacuran di Kota Surabaya, Jawa Timur, dinilai gagal karena pada sebuah razia ditemukan 14 PSK baru (Muncul PSK Baru, Dana Pemulangan Sia-sia, www.surabayapost.co.id, 24/5-2012).
Di era Orde Baru pemerintah, dalam hal ini departemen sosial, sudah melakukan resosialisasi PSK dengam memberikan keterampilan melalui pelatihan jahit-menjahit, tata rias, dll. Tapi, program tsb. gagal karena banyak faktor, al. program merupakan top-down sehingga tidak menjadi pilihan bagi PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Ternyata Pemkot Surabaya tidak belajar dari pengalaman di masa Orde Baru. Dengan anggaran yang dialokasikan dalam APBD, Pemkot Surabaya melakukan pengentasan PSK dengan cara memulangkan mereka ke daerah asal. Dikabarkan dana yang dipakai Pemkot Surabaya dalam program ini sangat besar.
Cara itu juga sudah dilakukan bahkan sampai sekarang, tapi hasilnya tetap nol besar. Soalnya, satu PSK dipulangkan puluhan PSK lain akan menggantikan ’posisi’ PSK yang dipulangkan.
Menurut Masduki Toha, Anggta Komisi D PRD Surabaya, Pemkot sudah gembar-gembor yakin mampu mengurangi jumlah PSK di Dolly, tapi ternyata para pemilik wisma tidak mengindahkan imbauan Pemkot.
Selama ada laki-laki yang ’membeli’ cinta, maka selama itu pula pelacuran akan ada. Biar pun lokasi atau lokalisasi ditutup, praktek pelacuran akan terjadi di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Masduki melupakan laki-laki sebagai faktor utama pemicu pelacuran.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Reni Astuti, dikabarkan mengingatkan agar Pemkot Surabaya mengurangi potensi lokalisasi baru dengan melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) larangan pemanfaatan gedung untuk kegiatan prostitusi. Sehingga program pengentasan PSK bisa berhasil.
Praktek pelacuran tidak hanya terjadi di wisma-wisma yang ada di lokalisasi atau lokasi pelacuran. Praktek pelacuran bisa terjadi di berbagai tempat yang sama sekali tidak terkait dengan lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Di Kota Tangerang, Banten, ada perda larangan pelacuran. Tapi, apa yang terjadi? Praktek pelacuran yang melibatkan PSK dan waria terus terjadi setiap malam di berbagai tempat. Seorang penjangkau di sebuah LSM mengatakan setiap mala dia mendampingi 100 PSK dan waria.
Lagi pula, mengapa Reni tidak membalik pradagima berpikir terkait dengan prostitusi?
Kalau laki-laki tidak ’membeli’ cinta atau layanan seks dari PSK, tentulah tidak akan ada praktek pelacuran di Surabaya.
Dana yang besar dalam APBD untuk pemulangan PSK dipakai untuk menyuluh agar tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Kota Surabaya yang melacur di Surabaya atau di luar Surabaya.
Selama pelacuran hanya dilihat dari sisi PSK, maka selama itu pula praktek pelacuran akan terus terjadi. Maka, jangan heran kalau penyebaran HIV/AIDS terus terjadi. Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan ada laki-laki penduduk Surabaya yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, al. dengan PSK. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H