“Tersangka mengakui bahwa seusai memerkosa korban, mereka menganiaya bagian intim korban. Mereka berdalih melakukan itu karena pernah melihat berita di televisi tentang pembunuhan terhadap EF (18) di Tangerang, yang dianiaya seusai diperkosa.” Ini ada dalam berita “Pemerkosa Gadis Belia di Manado Meniru Cara Sadis Penganiayaan di Tangerang” (kompas.com, 7/6-2016).
Kasus di Manado ini menunjukkan pengaruh buruk siaran televisi karena ada pemirsa yang melakukan copy-paste perilaku pada kejahatan seksual yang dipertontonkan media massa, dalam hal ini televisi. Di sisi lain polisi pun dengan ringan tangan memberikan hasil pemeriksaan dan foto kepada media massa.
Dalam jurnalistik pemberitaan yang menunjukkan kejadian kejahatan, seperti perkosaan, maka merupakan ‘the second rape’ kali ini dilakukan oleh wartawan (“The Second Rape” dalam Berita di Kompas.com).
Sangat disayangkan foto rongent EF yang menunjukkan tangkai cangkul di tubuh korban bisa beredar di kalangan wartawan, bahkan kemudian beredar luas di media sosial. Tentu saja wartawan tidak akan memperoleh foto rongent karena itu merupakan bagian dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di polisi sebagai rahasia jabatan polisi.
Salah satu pelaku, FS, dengan tegas mengatakan: "Lihat-lihat di berita televisi.” Berita televisi itulah yang ‘mengilhami’ mereka untuk melakukan kejahatan seksual berupa perkosaan dan merusak vagina korban.
Dalam berita ini juga sangat disayangkan wartawan menyebutkan motif dengan jelas “Karena tidak terima putus cinta, ia cemburu dan sakit hati” dan mengutip pernyataan Suprayitno: "Motifnya mungkin kecemburuan, karena korban mengaku bahwa dia sudah punya pacar.”
Lagi-lagi motif itu bisa ‘mengilhami’ orang lain untuk melakukan kejahatan seksual, dalam hal ini pemerkosaan, dan pembunuhan dengan merusak vagina korban hanya karena cemburu setelah diputus korban.
Karena motif merupakan bagian dari BAP sehingga hal itu rahasia dan bukan untuk konsumsi publik melalui pemberitaan di media massa dan media sosial.
Satu hal yang tidak kita sadari selama ini adalah polisi dan media massa memberikan ‘ruang peradilan’ kepada tersangka pelaku kejahatan untuk membela diri melalui pernyataan yang menjadi latar belakang kejahatan yang mereka lakukan.
“Pembelaan” terus berlanjut ke ruang sidang pengadilan, al. ada pelaku kejahatan yang menampilkan diri sebagai ‘orang baik-baik’, misalnya, berpakaian yang ‘agamis’. Dengan cara itu mereka berharap ada yang berpikir bahwa yang duduk di kursi pesakitan itu tidak mungkin melakukan hal yang dituduhkan jaksa karena penampilan mereka yang ‘agamis’.
Sebagai ‘polisi’ yang mengawasi siaran televisi patut dipertanyakan langkah-langkah yang dilakukan KPI (Komisi Penyiaran Indonesa) terhadap siaran-siaran televisi yang menyiarkan berita berupa rekonstruksi kejahatan dan pemberian ‘ruang peradilan’ bagi pelaku kejahatan.