Istilah ‘seks bebas’ merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris. Laman free sex tidak ditemukan dalam berbagai kamus Bahasa Inggris.
Baca Juga: ‘Seks Bebas’ Jargon Moral yang Menyesatkan dan Menyudutkan Remaja
Dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak dikenal terminologi free sex. Tidak ada laman free sex di kamus bahasa Inggris. Yang ada adalah free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).
Di era tahun 1970-an free sex dikait-kaitkan dengan perilaku orang per orang dalam komunitas yang muncul ketika itu yaitu kalangan hippies. Perilaku itu merupakan anggapan terhadap kehidupan yang dinilai ‘bebas’ di komunitas hippies. Kalau pun perilaku itu ada di kalangan hippies, tapi dilakukan secara heteroseksual.
Hippies adalah gaya hidup di kalangan remaja di kelas menengah yang berawal dari San Francisco, AS, pada tahun 1960-an yang mengedepankan cinta dan perdamaian sebagai protes terhadap politik dunia yang ditandai dengan perang. Komunitas ini ditandai dengan rambut panjang dan musik rok serta narkoba ringan (sift drugs).
Belakangan, free sex dikait-kaitkan dengan (penularan) HIV/AIDS. Padahal, di awal epidemi yang dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS adalah homoseksual.
Celakanya, pengaitan ’seks bebas’ dengan HIV/AIDS justru mengaburkan makna karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ’seks bebas’.
Lihatlah beberapa judul berita ini:
- ”Tingginya HIV/AIDS di Sulsel Akibat Seks Bebas” (TRIBUNnews.com, 21/7-2011);
- Waspadai Free Seks dan HIV/AIDS (www.sapos.co.id, 23/7-2011);
- 3.918 Terjangkit HIV/AIDS Akibat Seks Bebas di Sumsel (www.berita8.com, 20/07-2011); dan
- Penyebaran AIDS/HIV di Sulsel. Seks Bebas Menjadi Penyebab Utama (regional.kompas.com, 20/7-2011).
Agaknya, yang dimaksud dengan ’seks bebas’ pada berita tsb. hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Tapi, celakanya PSK yang dimaksud hanya PSK langsung yaitu PSK yang bisa dilihat dengan mata telanjang, seperti PSK ’jalanan’ dan PSK yang ’beroperasi’ di lokasi atau lokalisasi pelacuran, tempat esek-esek dan di tempat-tempat hiburan.
Padahal, ’seks bebas’ tidak hanya dilakukan dengan PSK langsung, tapi juga ada PSK tidak langsung yaitu: ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ’cewek biliar’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ’ayam kampus’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, yang mendorong penyebaran HIV justru PSK tidak langsung. Dikabarkan PSK tidak langsung al. cewek-cewek penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Mereka tidak ’beroperasi’ di tempat-tempat yang selalu dikait-kaitkan dengan pelacuran. Mereka saling kontak melalui telefon.
Baca juga: AIDS di Sulawesi Selatan Didorong PSK Tidak Langsung
Lagi pula penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) karena salah satu dari satu pasangan mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini disebut sebagai kondisi hubungan seksual (Lihat Gambar 1).
Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV atau HIV-negatif (kondisi hubungan seskual) maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan di luar nikah (sifat hubungan seksual). (Liha Gambar 2).
Maka, hubungan seksual yang berisiko yaitu hubungan seksual yang mengandung risiko tertular HIV adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di daerah sendiri, di luar daerah atau di luar negeri.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di daerah sendiri, di luar daerah atau di luar negeri.
Jika tetap memakai jargon ’seks bebas’ maka perilaku berisiko (a) dan (b) tidak tercakup sehingga cara-cara penularan HIV yang konkret tidak akan bisa dipahami masyarakat. Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV.
Tampaknya, jargon ’seks bebas’ dipakai untuk mereduksi perilaku zina karena dalam ’seks bebas’ tidak terkandung makna zina.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian penyebaran HIV terus ’menggila’ di Indonesia karena penularan HIV hanya dikaitkan dengan zina yaitu hubungan seksual dengan PSK langsung. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H