Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelacuran “Artis Online”: Tumbuh Subur karena Snobisme dalam Kehidupan Sebagian Orang yang Hedonis

11 Desember 2015   21:05 Diperbarui: 11 Desember 2015   21:22 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sudah berulang kali polisi membongkar jaringan pelacuran melalui Internet, seperti e-mail dan media sosial (Facebook, Twitter, dll.), yang melibatkan ‘artis’, tapi seakan jargon ‘ditangkap satu muncul seribu’. Kegiatan pelacuran online pun menjadi gaya pelacuran di kalangan orang berduit.

Tapi, kemungkinan besar pelacuran ‘artis online’ ini adalah bentuk gratifikasi yaitu antara berbagai pihak yang saling berkepentingan, misalnya dalam bisnis dan proyek. Pelacur, disebut ‘cewek gratifikasi seks’, yang dijadikan alat disebutkan adalah ‘artis’ atau pesohor.

Gratifikasi Seks

Dalam bentuk yang lebih sederhana, (alm) Sartono Mukadis, psikolog UI, mengatakan di dua kota di Jawa Barat germo atau mucikari sering menawarkan cewek dengan embel-embel yang terkait dengan pihak-pihak yang lebih berkuasa di era Orde Baru. Maka, laki-laki yang pernah mengalami penindasan atau kekerasan dari pihak-pihak yang berkuasa tadi akan merasa bangga bisa, maaf, meniduri perempuan yang disebut janda kelompok anu, anak kelompok itu, dst.

Dalam bahasa psikologi sosial Sartono menyebutkan hal itu sebagai snobisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa snobisme adalah orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yangg dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu.

Sama halnya dengan orang-orang yang memanfaatkan kedudukan atau jabatannya dalam berbagai bidang yang terkait dengan pengambilan keputusan penting akan memanfaatkan posisi mereka untuk memaksa pihak yang terkait menyediakan ‘cewek gratifikasi seks’.

Tentu saja uang sebesar Rp 10 juta, Rp 20 juta, Rp 30 juta, Rp 50 juta dst. hanya untuk hubungan seksual sekali crot memerlukan perhitungan jika uang tsb. dari kantong sendiri. Tapi, kalau tanpa mengeluarkan uang bisa, maaf, meniduri ‘artis’ apalagi ‘artis’ itu pujaan tentulah imbalan yang diminta pemberi gratifikasi akan segera diberikan.

Celakanya, ada short time ‘prostitusi artis online’ bukan berdasarkan waktu yaitu 2 jam atau 3 jam, tapi setelah laki-laki ejakulasi permainan selesai. Bahkan, di media sosial cewek bispak dan cewek bisyar memakai patokan agar laki-laki tidak bisa menipu yaitu: CIF (crot in face) atau CIM (crot in mouth).

Di sisi lain artis yang ‘terjerumus’ ke kehidupan glamor (yang serba gemerlapan) dan jetset (KBBI: kelompok orang yang sangat kaya dengan kebiasaan hidup bersenang-senang dan bermewah-mewahan) menghadapi masalah besar untuk memenuhi kebutuhan agar bisa masuk ke dalam dunia glamour dan jetset. Kebutuhan itu al. aksesori, pakaian, rumah, kendaraan, perhiasan, dll. Semua ini memerlukan uang yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun