Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pelacuran: Antara (Perempuan) ‘Jual Diri’ dan (Laki-laki) ‘Membeli Seks’

15 Juli 2012   00:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:57 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mensos Salim: Perempuan Jangan Jual Diri Karena Kemiskinan.” Ini adalah judul berita di www.rimanews.com (8/7-2012).

Dalam pernyataannya Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, mengatakan: Kaum perempuan diminta tidak menjual diri atau melakukan prostitusi dengan alasan kemiskinan.”

Pertanyaan untuk Mensos Salim: Apa alasan laki-laki ‘hidung belang’ melacur?

Pernyataan Mensos Salim ini bias gender karena hanya menyalahkan perempuan yang menjadi pelacur.

Bagaimana dengan laki-laki yang melacur atau ‘membeli diri perempuan’?

Disebutkan oleh Mensos Salim: "Lokalisasi seperti di Jawa Timur, kita sudah menggelar 'workshop', ada 44 titik lokalisasi prostitusi se-Jawa Timur. Di Jawa Tengah, pasti ada juga."

Celakanya, Mensos Salim tidak menggambarkan berapa laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur di 44 titik lokalisasi pelacuran itu.

Pernyataan Mensos Salim itu mengesankan pelacuran hanya terjadi karena perempuan yang menjual diri karena kemiskinan belaka.

Apakah ada pelacuran kalau laki-laki ‘hidung belang’ tidak melacur (ke lokalisasi pelacuran)?

Disebutkan Mensos Salim mengaku prihatin karena sebagian besar pelaku prostitusi mempunyai rumah tangga, punya suami, dan punya anak.

Nah, ternyata Mensos Salim menutup mata terkait dengan fakta bahwa laki-laki ‘hidung belang’ juga ada yang mempunyai istri dan anak. Bahkan, tidak sedikit laki-laki yang mempunyai pasangan seks lebih dari satu.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka, al. karena melacur tanpa kondom.

Sayang, Mensos Salim mengabaikan fakta ini dan lebih memilih menyalahkan perempuan.

Kalau Mensos Salim mengatakan bahwa “ …. kemungkinan yang melakukan (pelacur-pen.) juga secara terpaksa ….”,lalu apa latar belakang laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur?

Dikabarkan Kementerian Sosial menyelenggarakan 'workshop' untuk mengajak para pelaku prostitusi meninggalkan dunia hitam tersebut dan kembali ke jalan yang benar.

Mengapa Mensos Salim hanya mengajak pelacur meninggalkan dunia hitam?

Apakah laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur di dunia hitam sudah ada pada jalan yang benar?

Kalau jawabannya YA, maka amatlah wajar pernyataan Mensos Salim yang hanya melihat perempuan sebagai biang keladi pelacuran.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka perlakuan Mensos Salim itu jelas diskriminatif dan bias gender karena hanya menyalahkan perempuan (pelacur) sebagai orang yang tidak benar.

Sejak rezim Orba sudah ada program resosialisasi terhadap pelacur dengan memberikan ceramah agama dan keterampilan serta modal usaha, tapi semua kandas karena, seperti dikatakan oleh Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya, program itu hanya top-down (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).

Begitu pula dengan penangangan pelacuran Prof Dr DN Wirawan, Ketua Yayasan Kerti Praja, Denpasar, Bali, juga mengatakan diperlukan paradigm baru dalam menangani pelacuran (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/11/perlu-paradigma-baru-menanggulangi-aids/).

Disebutkan pula: Disinggung masalah imbauan penutupan lokalisasi saat Ramadhan, dia mengatakan, sebagai orang yang beriman dan beragama tentu harus meninggalkan prostitusi.

Dalam pernyataan itu tidak jelas siapa yang dimaksud Mensos Salim sebagai ‘orang yang beriman dan beragama tentu harus meninggalkan prostitusi’.

Kalau yang dimaksud Mensos Salim adalah pelacur, maka lagi-lagi sudah terjadi diskriminasi karena tidak mengaitkannya dengan laki-laki ‘hidung belang’.

Selama ada laki-laki yang melacur, maka biar pun lokalisasi pelacuran ditutup tetap saja ada praktek pelacuran dalam berbagai bentuk di setiap saat dan di sembarang tempat. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun