Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

‘Pelacur’ Anak-anak Jadi Langganan Pejabat dan Politisi di Kalbar

14 Juli 2011   03:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41 3518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permintaan laki-laki ‘hidung belang’ terhadap pelacur anak-anak (dikenal sebagai pekerja seks komersial anak-anak atau PSK anak) di Prov Kalimantan Barat (Barat) bisa saja merupakan gambaran perilaku paedofil (orang-orang dewasa yang mempunyai hasrat seksual terhadap anak-anak).

Menurut Ketua Yayasan Nanda Dian Nusantara, Devi Tiomana, mengungkapkan praktik prostitusi yang melibatkan anak-anak usia sekolah terjadi akibat tingginya angka permintaan dan perilaku menyimpang. Permintaan tersebut berasal dari kalangan politisi dan pejabat pemerintah di seluruh Kalimantan Barat. (Gila! Politisi dan Pejabat Jadi Pelanggan PSK Pelajar, Tribun Jambi, 11/7-2011).

Sayang, Devi tidak memaparkan apa alasan politisi dan pejabat di Kalbar ‘memamai’ PSK anak-anak. Jika tidak ada alasan maka ada kemungkinan perilaku politisi dan pejabat di Kalbar itu merupakan paedofilia.

Yang jadi persoalan besar terkait dengan pelacuran di Indonesia adalah jika ada razia maka yang disalahkan dan diajukan ke pengadilan hanya PSK. Terkait dengan PSK anak-anak diharapkan polisi atau Satpol PP tidak hanya menangkap PSK anak-anak, tapi laki-laki dewasa yang ‘memakai’ mereka. Jeratan hukum yang dipakai pun bukan KUHP karena ancaman hukumannya ringan, tapi UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jika politisi dan pejabat di Kalbar ‘memakai’ PSK anak-anak dengan alasan bahwa anak-anak relatif tidak mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis dan GO) serta HIV/AIDS, maka asumsi itu keliru. Soalnya, ada di antara PSK anak-anak yang mengidap IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Alasan lain politisi dan pejabat di Kalbar ‘memakai’ PSK anak-anak adalah untuk mengelabui diri mereka sendiri bahwa mereka tidak ‘main’ dengan pelacur (PSK dewasa) yang bisa dilihat dengan mata telanjang di jalanan atau lokasi pelacuran. PSK anak-anak itu dikategorikan sebagai PSK tidak langsung karena mereka tidak praktek di tempat-tampat yang identik dengan pelacuran.

Salah satu pendorong penyebaran HIV adalah PSK tidak langung karena luput dari perhatian. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian di Sulawesi Selatan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Disebutkan oleh Devi pengakuan dari 128 PSK anak-anak itulah terungkap bahwa pelanggan mereka dari kalangan politisi dan pejabat. Mereka melakukan aktivitas pelacuran pada jam-jam sekolah dengan istilah short time yaitu antara pukul 07.00 – 13.00. PSK anak-anak itu menemui pelanggannya melalui panggilan telepon.

Disebutkan pula oleh Devi, “ .... pengawasan pihak sekolah yang lemah membuat banyak remaja terjerumus ke dalam perbuatan ini.” Selain pihak sekolah yang salah adalah pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi, karena kegiatan itu terjadi di ranah publik.

Yang dipertanyakan adalah sikap pihak sekolah yang mengeluarkan siswi yang hamil. Kalau saja pihak sekolah melakukan pendampingan terhadap siswi yang hamil tentu akan bisa dicari jalan keluar dan memutus jaringan pelacuran yang melibatkan pelajar.

Menurut Devi pihaknya sudah membahwa masalah pelacuran yang melibatkan PSK anak-anak itu ke DPRD. Lagi-lagi peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yang ditelurkan Pemprov Kalbar tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan HIV/AIDS (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Devi mengatakan: ”Saya berharap kepada Pemerintah Kota untuk menyikapi hal ini dengan serius melalui Dinas Pendidikan." Ini menunjukkan lagi-lagi yang menjadi sasaran adalah PSK anak-anak.

Mengapa kita tidak membalik paradigma: yang menjadi sasaran adalah politisi dan pejabat yang menjadi pelanggan PSK anak-anak itu! ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun