Nurul “dr Halimah” Arifin (rolfilmblog.blogspot.com)
"Saya ingin muntah lihat pejabat yang seringblusukan," kata Nurul (maksudnya politikus Partai Golkar Nurul Arifin-pen.) di Wisma Nusantara, Jakarta Pusat, 8 November 2014 (tempo.co, 8/11-2014).
Jika disimak arti kata muntah seperti di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: keluar kembali makanan (minuman dsb) yang telah masuk ke dalam mulut atau perut. Contoh:begitu tercium bau busuk, muntahlah ia.
Lalu, apa yang membuat Nurul muntah hanya karena melihat menteri, dalam hal ini menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK, blusukan?
Blusukan bukan hal yang menimbulkan bau busuk. Blusukan justru menguak kebusukan yang ada di masyarakat tapi tidak pernah tercium karena ditutup rapat-rapat dengan berbagai cara, al. kongkalikong dengan penguasa dan aparat.
Melalui aksi-aksi blusukan Presiden Joko Widodo dan menterinya berbagai fenomena yang ada di masyarakat akan terkuak karena dengan blusukan langsung bersentuhan dengan akar persoalan. Kalau hanya mengandalkan laporan bawahan atau anak buah itu artinya laporan “ABS” (asal bapak senang) sehingga akar persoalan tidak bisa dikuak.
Kalau cara kerja para menteri yang al. melakukan blusukan bisa mengeluarkan makanan dan minuman dari perut Nurul tentulah hal itu terkait dengan masalah psikologis. Bisa jadi hal itu merupakan phobia (KBBI: fobia adalah ketakutan yg sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya).
Maka, apa yang membuat Nurul ketakutan melihat menteri blusukan?
Tentu saja diperlukan eksplorasi yang mendalam dari aspek psikologi yang dilakukan oleh psikolog untuk mengetahui penyebab fobia pada Nurul.
Karena blusukan untuk menguak kebusukan, maka mengapa Nurul sebagai politikus Partai Golkar justru fobia melihat blusukan?
Ternyata bukan kali ini saja Nurul Arifin bersikap lebay. Sebagai pemeran tokoh dr Halimah pada serial sinetron “Kupu-kupu Ungu” yang berkisah tentang HIV/AIDS Nurul mengaku shock ketika pertama kali beremu dengan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) atau pengidap HIV/AIDS. Tiga belas episode “Kupu-kupu Ungu” waktu itu, Oktober 1998 ditayangkan oleh Stasiun Televisi “RCTI” dengan dukungan Ford Foundationdan Departemen Kesehatan RI.
Sebagai wartawan yang menggeluti HIV/AIDS sejak awal epidemi, “Saya khawatir peranan dr. Halimah tidak objektif karena Nurul Arifin sendiri mengakushockwaktu pertama kali bertemu dengan Odha.Saya tahu persis, Odha yang ditemui Nurul itu belum menunjukkan gejala stadium AIDS, seperti yang banyak digambarkan media massa, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untukshock karena secara fisik tidak ada perbedaan antara Odha itu dengan Nurul Arifin.” (Kupu-kupu Ungu: Sinetron tentang HIV/AIDS, Syaiful W. Harahap, Newsletter “HindarAIDS“ No. 6, 5 Oktober 1998).
Itu artinya ketika itu Nurul sudah mempunyai pandangan bahwa pengidap HIV/AIDS adalah orang-orang yang ada dalam posisi sekarat. Kurus kering, dll., seperti yang digambarkan oleh sebagian besar media massa.
Apakah itu artinya ada persamaan sikap dan persepsi antara mau muntah Nurul melihat blusukan menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK dan shock Nurul ketika bertemu pertama kali dengan Odha? *** [Syaiful W. Harahap – baranews.co] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H