Catatan: Artikel ini saya tulis sepuluh tahun yang lalu ketika kasus HIV/AIDS di kalangan balita masih bisa dihitung dengan jari tangan. Sekarang sudah banyak anak-anak yang terdeteksi HIV. Tulisan ini sebagai perbandingan tentang upaya yang dilakukan pemerintah selama sepuluh tahun ini untuk menangani anak-anak yang HIV-positif. *
Biar pun dalam data kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dikeluarkan Ditjen PMP&PLP Depkes anak usia di bawah 14 tahun yang terinfeksi HIV baru enam (tiga HIV dan tiga AIDS), tapi bukan berarti kita bisa menyepelekannya. Soalnya, epidemi HIV yang sudah masuk ke populasi, antara lain infeksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga di luar yang berperilaku berisiko tinggi, tentu akan menimbulkan masalah baru karena probabilitas infeksi vertikal (dari ibu ke anak yang dikandungnya) antara 15-30% (tanpa AZT) dan sekitar 8% jika ditangani dokter selama kehamilan, antara lain dengan pemberian AZT.
UNAIDS memperkirakan akhir 1998 saja sekitar 8,2 juta anak di seluruh dunia akan menjadi yatim piatu karena salah satu atau kedua orang tua mereka meninggal dunia karena AIDS. Ini baru dari satu aspek. Padahal, ada aspek lain yang juga terkait dengan anak itu.
Selain menjadi yatim piatu, mungkin anak itu pun sudah terinfeksi secara vertikal dari ibunya pada saat dalam kandungan atau dari air susu. Hal ini tentu saja akan menjadi persoalan baru. Soalnya, anak yatim piatu itu sendiri sudah menghadapi masalah dalam masyarakat karena stigma yang sudah melekat pada orang tua mereka sehingga anak-anak yatim itu pun akan mendapat cap negatif.
Hal itulah yang terjadi di Malaysia. Selain karena ditinggal mati orang tuanya, menurut Marina Mahathir, Presiden Malaysian AIDS Council (MAC), banyak pula anak yang ditinggal pergi orang tuanya yang terdeteksi sebagai Odha. Karena stigma yang melekat pada Odha masyarakat pun enggan menjalin hubungan sosial dengan Odha. Akibatnya, Odha merasa terasing sehingga ada meninggalkan kampung halaman dan anak-anaknya. Keluarga dekat Odha itu pun tidak pula rela menerima anak-anak mereka.
Dengan meninggalkan kampung dan anak-anak, mereka berharap status HIVnya tidak akan diketahui di tempat yang baru. Umumnya, mereka pindah ke kota besar. Kehadiran mereka di perkotaan juga berdampak terhadap fasilitas umum yang disediakan untuk penduduk setempat karena mereka turut memanfaatkannya.
Selama identitas mereka tidak diketahui tentulah status HIVnya pun tidak akan terkuak. Tapi, ketika mereka mulai memerlukan pengobatan, karena infeksinya sudah enunjukkan gejala, bisa muncul masalah baru. Rumah sakit akan meminta surat pengantar dari puskesmas asal domisili mereka sebagai rujukan.
Anak-anak yang mereka tinggalkan pun tidak ada yang mengurusnya. Inilah salah satu persoalan pelik yang dihadapi Malaysia. Persoalannya, menurut Marina, tidak jelas instansi apa yang bertanggung jawab mengurus anak yatim itu. Departemen kesehatan, umpamanya, menolak mengurus anak itu karena mereka hanya menangani Odha. Dalam kaitan ini tentu saja orang tua anak itu. Sedangkan anak-anak yang mereka tinggalkan itu bukan (belum) menjadi urusan departemen kesehatan karena status HIV anak itu tidak jelas. Sedangkan departemen sosial mengurus masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, seperti fakir miskin atau korban bencana alam. Bertolak dari pengalaman Malaysia itu tentu saja sudah saatnya kalau kita mulai memikirkan hal yang sama agar kelak di kemudian hari kita tidak kelabakan lagi menghadapi persoalan seperti itu. Bagaimana pun, hal yang sama akan terjadi di sini karena ibu-ibu rumah tangga pun sudah ada yang terinfeksi HIV.
Pengalaman menunjukkan sikap sebagian besar masyarakat kita tetap melihat Odha sebagai orang yang tidak layak menjadi bagian dalam masyarakatnya. Selain dikucilkan, sering pula terjadi Odha diteror agar meninggalan desanya. Hal ini, misalnya, dialami oleh keluarga Cece (bukan nama sebenarnya), 23, seorang Odha di Kab. Karawang, Jabar. Mereka terpaksa berpindah-pindah jika di tempat yang baru status HIV-nya diketahui orang. Begitu pula dengan Isa (bukan nama sebenarnya), 25, seorang Odha Sulsel. Dalam dua tahun terakhir ini saja sudah tiga kali ia diusir dari rumah yang dikontraknya hanya karena penduduk mengetahuinya sebagai seorang Odha.
Stigma terhadap Odha itu pulalah yang tampaknya dikhawatirkan Cici (bukan nama sebenarnya), 25, seorang Odha lagi di Kab. Karawang, Jabar. Soalnya, ketika ia diketahui penduduk sebagai Odha dari berita di media massa, ia pun dicibir dan dikucilkan penduduk. Itulah yang menghantuinya karena tidak lama lagi putrinya yang sekarang berumur tiga tahun akan segera masuk TK. Melihat sikap penduduk terhadap dirinya, dia juga sedikit khawatir tentang nasib putrinya kelak karena penduduk mengetahui Cici seorang Odha.
Sikap masyarakat yang belakangan bisa menerimanya, walaupun sebagian masih dengan setengah hati, berkat penyuluhan yang digencarkan Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM peduli AIDS di Jakarta, dengan dukungan Ford Foundation di desa Cici. Bahkan, YPI membangun sebuah sanggar di sana yang diharapkan menjadi ujung tombak sosialisasi kepedulian terhadap HIV/AIDS. Dengan melibatkan remaja YPI dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga mereka dapat menerima Cici sebagai bagian dari keseharian mereka.
Namun, bisa jadi kehadiran putrinya di TK nanti akan menimbulkan masalah jika tenaga pengajar dan orang tua murid tidak memahami HIV/AIDS dengan benar (objektif) sehingga mereka menolak kehadiran putri Cici. Soalnya, informasi seputar HIV/AIDS yang mereka terima dari sebagian besar media massa nasional belum berpihak kepada objektivitas.
Pemberitaan selalu subjektif dengan mengutamakan sensasi sehingga muncul stigma, mitos dan akhirnya sikap yang negatif terhadap Odha. Akan sangat sulit untuk mengubah sikap masyarakat dalam waktu yang singkat karena sampai sekarang pola pemberitaan media massa pun tetap tidak objektif. Bahkan, di saat informasi tentang HIV/AIDS kian luas justru berita seputar HIV/AIDS kembali dikait-kaitkan dengan moral. Padahal, mencaci maki dan mengucilkan orang lain pun jelas terkait dengan moral karena tidak ada hukum, negara dan agama, yang membenarkan penghinaan dan caci maki terhadap sesama manusia.
Melihat kekhawatiran Cici ini sudah saatnya Depdikbud memikirkan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan (yang objektif) tentang HIV/AIDS bagi guru, dosen serta tenaga non-pengajar di jajarannya. Tentu saja tidak menguntungkan kalau Depdikbud menunggu kasus dulu baru bergerak meningkatkan pengetahuan tenaga pengajar dan non-pengajar di jajarannya.
Sangat disayangkan kalau kesempatan putri Cici untuk mengenyam pendidikan terhambat hanya karena ketidaktahuan guru tentang HIV/AIDS. Apalagi dikaitkan dengan "harapan hidup" anak yang terinfeksi HIV, yang secara teoritis hanya beberapa tahun, tentulah haknya untuk mendapatkan pendidikan tidak bisa dihilangkan hanya karena orang tuanya Odha. Konvensi Hak Anak UNICEF menyebutkan pendidikan merupakan hak anak yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan. Jadi, putri Cici berhak mengenyam pendidikan seperti anak-anak lain. Ini sejalan dengan program wajib belajar (Wajar Sembilan Tahun) yang dicanangkan pemerintah.
Jika putri Cici tidak bisa bersekolah hanya karena ibunya Odha atau karena ia juga Odha tentulah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sangat mendasar. ***
[Sumber: Newsletter "WartaAIDS", Nomor 44, 17 Mei 1999]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H