“Berdasarkan data dari Dinkes Kota Serang, jumlah penderita HIV AIDS selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Inikan sangat miris.” Ini pernyataan Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P3KL) Dinkes Kota Serang, Ella Mei Delena dalam berita “47 Penderita HIV/Aids di Serang Meninggal Dunia” (indopos.co.id, 14/2-2015).
Pernyataan Ella ini justru membuat miris karena hal itu menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terkait dengan epidemi HIV/AIDS.
Pertama, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga jumlah angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak penderitanya yang meninggal dunia. Maka, tiap ada kasus baru otomatis jumlah kasus yang dilaporkan akan bertambah.
Kedua, yang miris adalah Pemprov Banten tidak mempunyai program penangguilangan HIV/AIDS yang efektif di hulu. Bahkan, dalam Perda AIDS Prov Banten pun sama sekali tidak ada satu pasal pun yang menjadi pijakan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: Perda AIDS Provinsi Banten).
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Serang sampai tahun 2014 dilaporkan 174 terdiri atas 60 HIV dan 114 AIDS dengan 47 kematian.
Yang perlu diingat jumlah ini tidak menggambarkan kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (174) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut.
Yang jadi persoalan besar bukan kasus yang terdeteksi, tapi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat yang tidak terdeteksi karena pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selain itu 47 penduduk pengiap HIV/AIDS yang meninggal. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada mada AIDS. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Pada rentang waktu ini tidak ada tanda-tanda, gajala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan kesehatan pengidap HIV/AIDS.
Jika pengidap HIV/AIDS yang meninggal seorang suami, maka istrinya berisiko tertular HIV (horizontal) yang selanjut akan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya (vertikal). Kalau istrinya lebih dari satu, maka perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak yang seterusnya menambah jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS pula.
Kalau pengidap HIV/AIDS yang meninggal seorang istri, maka suaminya berisiko tertular HIV (horizontal). Sedangkan dia sendir akan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya (vertikal). Kalau perempuan tsb. kawin-cerai, maka laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak. Bisa juga laki-laki ini punya pasangan seks lain sehingga berisiko pula tertular HIV/AIDS.
Yang jadi persoalan besar adalah kalau ada di antara pengidap HIV/AIDS tsb. pekerja seks komersial (PSK) adan waria. Seorang PSK berisiko menularkan HIV/AIDS kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan dia tanpa memakai kondom. Jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS melalui 1 PSK saja adalah 4.500 – 13.500 (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun). Kalau pengidap HIV/AIDS itu ada lebih dari 1 PSK, maka laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS pun semakin banyak pula.
Studi sebuah Kelompok Dukungan LGBT di Surabaya, Jatim, menunjukkan laki-laki heteroseksual (baca: suami) selalu menjadi ‘perempuan’ ketika melakukan seks anal dengan waria, di kalangan waria disebut ‘ditempong’ sedangkan waria ‘menempong’. Artinya, suami-suami itu dianal oleh waria sehingga risiko tertular HIV/AIDS sangat tinggi. Suami-suam itu pun akhirnya menjadi jembatan penyebaranHIV/AIDS dari kalangan waria ke masyarakat.
Dalam berita tidak ada penjelasan tentang jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang masuk dalam jumlah 174 tsb.
Kalau ada ibu rumah tangga, maka pertanyaan untuk Dinkes Kota Serang dan KPA Kota Serang adalah: Apakah suami ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjalani tes HIV?
Program di Hilir
Jika jawabannya TIDAK, itu artinya penyebaran HIV/AIDS antar penduduk di Kota Serang sangat tinggi karena suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dikatakan oleh Ella bahwa ratusan penderita HIV/Aids tersebut berdasarkan hasil penyisiran petugas Dinkes ke sejumlah tempat hiburan dan kos-kosan di Kota Serang.
Lagi-lagi yang dilakukan Ella ini adalah di hilir. Artinya, sudah terjadi penyebaran HIV/AIDS baru disisir.
Pertanyaan besar adalah: Mengapa dilakuan pemeriksaan terhadap puluhan orang di empat cafe yang ada di Kota Serang?
Kafe ‘kan hanya tempat minum-minum sambil mendengarkan musik. Kalau karyawan kafe itu disisir untuk menjalani tes HIV itu artinya di kafe itu terjadi hubungan seksual antara cewek kafe dengan laki-laki pengunjung kafe.
Koq bisa, sih?
Kota Serang dan Prov Banten ‘kan mengusung syariat Islam. Lalu, mengapa terjadi perzinaan di kafe?
Kesalahan bukan pada cewek kafe, tapi laki-laki yang datang ke kafe untuk melakukan hubungan seksual berisiko.
Di bagian lain Ella mengatakan: “Dinkes Kota Serang menargetkan pemeriksaan HIV AIDS, dapat dilakukan terhadap 250 jiwa.”
Untuk apa Bu Ella?
Langkah ini di hilir. Anda membiarkan penduduk Kota Serang tertular HIV/AIDS dahulu baru diperiksa HIV/AIDS-nya.
Yang diperlukan adalah langkah yang konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi menurunkan karena mustahil menghentikan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, termasuk cewek kafe.
Diperlukan program dengan intervensi melalui regulasi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tentu saja intervensi tidak bisa dilakukan karena di Kota Serang tidak ada lokasi pelacuran. Praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu, seperti di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, kafe, panti pijat plus-plus, dll.
Ella juga mengatakan bahwa pemeriksaan tes HIV AIDS dilakukan terhadap tiga kelompok, yakni pengguna narkoba, waria, dan wanita tuna susila (WTS).
Waria dan PSK yang mengidap HIV/AIDS tertular dari laki-laki, bisa saja seorang suami, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom.
Nah, kalau pun Ella menemukan waria dan PSK yang mengidap HIV/AIDS, persoalan besar bukan pada waria dan PSK, tapi pada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada mereka. Bisa saja laki-laki yang menularkan HIV/AIDS itu seorang suami, maka laki-laki itu menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Selain itu masalah besar juga terjadi pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan waria dan PSK yang mengidap HIV/AIDS.
Selama Pemkot Serang tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret dan sistematis di hulu, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terjadi yang berujung pada penyebaran HIV/AIDS di masyarakat dengan muara “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H