Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyorot Kinerja Perda AIDS NTB*

22 April 2011   10:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:31 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi daerah yang ke-26 dari 28 daerah di Nusantara yang sudah menerbitkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS. Melalui Perda No. 11 Tahun 2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS pemerintah provinsi berharap bisa mengatasi penyebaran HIV di NTB. Apakah 27 daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) yang sudah menerbitkan perda bisa menekan laju pertambahan infeksi HIV baru?

Itulah pertanyaan yang sangat mendasar terhadap peranan perda dalam menanggulangi penyebaran HIV. Pembuatan perda penanggulangan AIDS di Indonesia bertolak dari keberhasilan Thailand dalam menekan laju pertambahan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program kondom 100 persen” pada hubungan seks berisiko, seperti di lokalisasi pelacuran, rumah bordir, dll.

Dari 23.632 kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional sampai 31 Maret 2009 NTB ’menyumbang’ 134 kasus. Januari-Maret 2009 terdeteksi 12 kasus AIDS. Angka-angka ini hanyalah puncak dari fenomena gunung es sehingga kasus yang sebenarnya di masyarakat bisa lebih banyak tapi tidak terdeteksi.

Mitos

Maka, mulailah gelombang merancang perda penanggulangan AIDS menggeliat di negeri ini. Diawali oleh Pemkab Nabire, Papua Barat, yang menelurkan Perda No. 18 tanggal 31/1-2003 tentang Pemakian Kondom 100% di Tempat-tempat Hiburan. Namun, di semua perda tidak ada satu pasal pun yang bisa ’memaksa’ penduduk untuk melindungi dirinya agar tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang lain. Semua perda hanya mememai norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ untuk menanggulangi penyebaran HIV. Apakah cara-cara itu berhasil?

Tentu saja tidak! Soalnya, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium secara medis. Maka, cara-cara pencegahannya pun dapat pula dilakukan dengan teknologi kedokteran. Tapi, dalam perda-perda yang sudah ada pencegahan ditawarkan dengan norma, moral, dan agama. Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan penularan HIV dapat dicegah dengan ’iman dan taqwa’. Pertanyaannya adalah: Bagaimana mengukur ’iman dan taqwa’ yang bisa mencegah HIV? Siapa yang bisa mengukur ’iman dan taqwa’? Apa alat ukurnya?

Begitu pula dengan kewajiban yang diamanatkan perda yaitu ’pemakaian kondom 100 persen’ tetap tidak akan jalan karena: (a) di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang resmi, dan (b) anjuran memakai kondom sebagai salah satu cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seks ditentang habis-habisan.

Maka, kalau ada perda yang tetap menjadikan ’kondom 100 persen’ sebagai salah satu cara mencegah HIV tentu saja tidak berguna karena tidak ada sasaran yang bisa diawasi. Lagi pula program ’kondom 100 persen’ di Thailand adalah ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Itu artinya perda-perda di Indonesia hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Negeri Gajah Putih itu.

Ada salah kaprah yang sangat mendasar di Indonesia terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks. Karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV melalui hubungan seks dengan zina, melacur, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, ’kumpul kebo’, waria, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun hubungan seks dilakukan dengan cara zina, melacur, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, ’kumpul kebo’, waria, dan homoseksual.

Hidup Sehat

Selain itu ada pula kesan bahwa penyebaran HIV dilakukan oleh pekerja seks komersial (PSK). Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-kali yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, remaja atau duda. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.Ini terjadi karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-15 tahun sejak tertular). Akibatnya, terjadi penyebaran HIV tanpa disadari. Sebaliknya, jika ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang kemudian mengencaninya tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Kalau ada laki-laki yang tertular HIV dari PSK maka mereka pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

Dalam Perda Pananggulangan AIDS Prov NTB pun tidak ada cara-cara pencegahan yang realistis. Yang ada justru menyuburkan mitos. Pada pasal 4 ayat a disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat.” Ini mengesankan kehidupan orang-orang yang tertular HIV tidak bersih dan sehat. Akibatnya, stigmatiasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) kian kuat dialami oleh Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Pada pasal 11 ayat 1 disebutkan: ”Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDA dengan cara (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini pun mendorong stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Odha. Di pasal 13 ayat 2 a disebutkan: ”meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga mampu mencegah dan menanggulangi penularan HIV dan AIDS.”

Ditilik dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara ’hidup bersih dan sehat’dengan penularan HIV. Yang perlu diatur dalam perda adalah perilaku (seks) yaitu mencegah agar penduduk tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di luar negeri dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di luar negeri dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Pasal yang perlu ada dalam perda adalah: ”Setiap penduduk wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” Selanjuta ada pula pasal yang memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu: ”Setiap penduduk yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”

Untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ’tersembunyi’ di masyarakat perlu dilakukan skrining yaitu tes HIV dengan konseling dan persetujuan (skrining rutin, survailans sentinel, dan survai khusus) seperti yang dijalankan di beberapa negara. Malaysia menjalankan skrining rutin terhadap terhadap pasien IMS (penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.), perempuan hamil, pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, darah donor, pasien TBC.

Tapi, sayang. Semua perda tidak memuat upaya pencegahan dan pemutusan mata rantai penyebaran HIV yang realistis. ***

* Dimuat di Harian ”Lombok Post”, 25 Juni 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun