“900 Penderita HIV/Aids Terdata di Buleleng.” Ini judul berita di Harian “Banjarmasin Post” (18/9-2010). Disebutkan: Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Buleleng (Bali, pen.) terus berupaya menekan menjalarnya HIV/AIDS. Salah satu upayanya, KPA Buleleng menyelenggarakan jambore dan ceramah bagi siswa yang peduli terhadap bahaya HIV/AIDS di Singaraja.
Secara faktual yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki dewasa, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami atau lajang. Remaja, sebagai pelajar atau mahasiswa, jika tertular HIV kemungkinan untuk menularkan ke orang lain lebih kecil daripada seorang suami yang tertular HIV.
Di saat epidemi HIV melanda Buleleng sasaran penyuluhan kepada siswa tidak pas karena banyak pria dewasa yang perilaku seksnya berisiko tertular dan menularkan HIV. Menjadikan siswa sebagai target penyluhan mengesankan bahwa remajalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Disebutkan: ”Melalui kegiatan tersebut, peserta nantinya diharapkan mampu menghindarkan diri dari bahaya penyakit mematikan itu, sekaligus menjadi agen informasi bagi rekan-rekan dan masyarakat umum yang ada di lingkungan tempat tinggal peserta.” Ini untuk di masa depan, tapi di depan mata terjadi penyebaran HIV oleh laki-laki dewasa yang bisa saja orang tua siswa-siswi itu.
Wakil Bupati Buleleng, Drs Made Arga Pynatih, MSi, yang juga ketua KPA setempat, menilai penyelenggaraan jambore kali ini sangat tepat sebagai ajang sosialisasi bahaya HIV/AIDS bagi remaja. Pak Wabup benar, tapi ada yang lebih mendesak yaitu penyuluhan terhadap laki-laki dewasa yang perilaku seksnya berisikko tertular dan menularkan HIV.
Kab Buleleng sudah menerbitkan peraturan daerah terkait dengan penanggulangan AIDS yaitu Perda Kab Buleleng No 5/2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Seperti halnya perda-perda lain dalam perda ini pun tidak ada pasal yang bisa diandalkan sebagai upaya untuk menanggulangi epidemi HIV secara akurat.
Di pasal 7 disebutkan: ”Setiap oang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan pencegahan.” Sedangkan di pasal 9 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen orang yang tertular HIV tidak menyadarinya sehingga penularan pun terjadi tanpa disadari.
Kedua pasal itu akan efektif kalau berbunyi: ”Setiap penduduk Kab Buleleng dilarang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, di Kab Buleleng atau di luar wilayah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.” Tapi, yang muncul dalam perda-perda serupa tetap pesan moral (terkait dengan aurat yang tidak ada kaitannya dengan penularan HIV) yang tidak akurat tentang HIV/AIDS.
Di bagian peran serta masyarakat pada pasal 20 ayat 1 disebutkan: Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.
Anjuran ini tidak konkret bahkan bisa mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang sudah tetular HV.
Perilaku hidup sehat yang seperti apa yang bisa mencegah penularan HIV?
Apa pula ukuran tingkat ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV?
Selama pesan-pesan penanggulangan dan pencegahan HIV disampaikan dengan bahasa yang dibumbui moral maka selama itu pula masyarakat tidak memahami cara-cara penularan yang akurat. Akibatnya, penyebaran HIV secara horizontal akan terjadi terjadi. Puncaknya kelak adalah ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H