Foto ketika Bung Karno melantik Bang Ali jadi Gubernur DCI Djakarta. Tidak disebutkan sumber foto, sedangkan foto ini di-repro dari “news.liputan6.com”.
“PELANTIKAN KEPALA DAERAH. Saatnya Tingkatkan Hubungan Pusat-Daerah” Judul berita di Harian “KOMPAS” (13/2-2016) ini sangat aktual dan realistis untuk ‘mengutuk’ Otonomi Daerah karena sejak UU itu diberlakukan Indonesia sudah menjadi negara federal dengan DPR yang setengah parlementer.
Pengalaman pahit Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika ada kepala daerah yang tidur saat beliau pidato di Istana. Ini terjadi karena ‘posisi’ presiden, gubernur, bupati dan walikota tidak lagi dihubungkan dengan garis komando. Tidak ada wewenang presiden menegur kepala desa, camat, bupati, walikota dan gubernur.
Yang bisa menjatuhkan gubernur, bupati dan walikota hanya DPRD berdasarkan putusan hukum karena kasus pidana, dalam hal ini Mahkamah Agung, dengan persetujuan presiden. Celakanya, kalau gubernur, bupati atau walikota ‘kongkalikong’ dengan DPRD, maka amanlah posisi pejabat itu.
Dana Pusat
Hak interpleasi DPRD Sumut, misalnya, raib hanya dengan lemparan lembaran-lembaran uang kertas yang diambil gubernur daerah itu dari dana bantuan sosial (Bansos). Gubernur dan anggota DPRD Sumut dicokok KPK dan Kejakgung sebagai tersangka suap dan korupsi.
Kita tidak tahu persis apa yang ada di benak pemrakarsa ‘karya hama agung’ UU Otonomi Daerah (Otda) yang diundangkan oleh Presiden BJ Habibie, yang naik karena Presiden Soeharto melengserkan diri (1998), tahun 1999. Yang jelas UU itu membuat negeri ini ‘porak-poranda’ dengan kekuasaan yang terpecah ke tangan ‘raja-raja’ di tingkat kabupaten dan kota.
Bermula dar UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah muncullah ‘raja’ di tingkat kabupaten dan kota karena otonomi itu bermakna kewenangan untuk mengatur, memanfaatkan dan mengekplitasi sumber-submer daya alam ada di tangan ‘raja-raja’ tadi. Maka, tidaklah mengeherankan kalau kemudian hutan lindung pun menjadi lahan perkebunan karena ‘raja’ menurunkan ‘titah’ dengan cara alih fungsi lahan.
Biar pun UU itu, No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tahun 2004
diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetap saja tidak mengatur pola kekuasaan ‘raja-raja’ daerah. Bahkan, legitimasi ‘raja-raja’ itu kian kuat karena mereka ‘dipilih’ langsung oleh rakyat.