Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menyoal Lulus ala Lembaga Sensor Film (LSF)

29 Desember 2010   05:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:15 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di setiap awal pemutaran film dan sinetron di bioskop dan TV selalu ada kalimat TELAH LULUS SENSOR. ‘Kelulusan’ yang diberikan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) terus menuai protes dari berbagai kalangan.

Pemakaian kata LULUS untuk sebuah sinetron atau film tidak tepat karena patokan yang dipakai LSF tidak terukur secara objektif. Buktinya, berbagai kalangan memprotes sinetron dan film serta acara lain yang sudah di-LULUS-kan oleh LSF. Ini terjadi karena ada perbedaan terhadap kriteria sensor untuk me-lulus-kan sinetron, film dan acara TV lain.

Ke-LULUS-an terkait erat dengan ujian formal, terutama di lembaga pendidikan formal, dan kegiatan penyaringan calon pegawai, karyawan, dll. Nilai yang membuat seseorang lulus terukur dengan angka. Nilai diukur dari keberhasilan menjawab pertanyaan pada lembar soal.

Sedangkan terhadap sinetro, film dan acara TV lain yang dilakukan adalah sensor (pengawasan dan pemeriksaan film dan sinetron yang akan diputar atau disiarkan).

Persoalannya adalah: Apakah LSF mempunyai daftar topik atau aspek yang disensor sebagai kriteria yang eksplisit?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan: lolos sensor yaitu lolos dari pengawasan dan pemeriksaan yang berwenang sehingga layak disiarkan, diterbitkan, atau ditayangkan (tt berita, majalah, film, dsb).

Maka, hasil terhadap sensor film, sinetron adan acara TV disebut LOLOS bukan LULUS karena tidak terukur secara objektif.

Film-film yang menampilkan setan dan hantu, misalnya, ada wujud hantu dan setan dalam bentuk nyata. Bentuk dan wujud setan sendiri dapat berbagai rupa sesuai dengan pemahaman dan keyakinan terhadap alam ghaib. Penonton bukan takut atau tegang tapi tertawa cekikikan.

Coba bandingkan dengan film The Exorcist yang diperankan oleh Linda Blair yang tidak menampakkan wujud hantu atau setan tapi film itu menegangkan. The Exorcist film horor berdasarkan novel (1971) tentang seorang gadis kecil yang kerasukan setan. Ibunya mencoba menyembuhkan putrinya melalui eksorsisme (ritual pengusiran setan). Yang dijadikan ’hantu’ atau ’setan’ adalah suasana melalui skenario bukan penampakan yang justru menggelikan.

Begitu pula dengan adegan-adegan kekerasan dan sensual.....yang di-LULUS-kan LSF selalu diprotes banyak kalangan.

Jika LSF tetap memakai kata LULUS sebagai hasil sensor maka LSF harus membuat kriteria yang jelas dan terukur sebagai patokan menyensor sehingga hasilnya objektif dan terukur.

Alasan-alasan yang disampaikan oleh penulis skenario, sutradara dan produser bahwa gambar merupakan rentetan cerita yang utuh tidak bisa diterima jika LSF mempunyai kriteria yang terukur.

Lagi pula film-film yang memberikan pencerahan tidak harus menampilkan adegan yang sensual, vulgar, dan sensasional.

Celakanya, apreasiasi sebagian orang terhadap kualitas film sebagai media pencerahan sangat rendah. Selera ’rendahan’ inilah yang dimanfaatkan untuk memproduksi film dan sinetron yang menampilkan adegan sensual (berhubungan dengan kenikmatan yang bersifat naluri), vulgar (tidak sopan), dan sensasional (menggemparkan).

Ketika ’serbuan’ film Hollywood ’menenggelamkan’ film nasional muncullah pernyataan yang mengait-ngaitkan nasionalisme dengan keengganan menonton film Indonesia.

Saya diminta membuat reportase tentang film nasional (ketika itu saya bekerja di Tabloid ”Mutiara”, Jakarta) terkait dengan kondisi perfilman nasional. Ada ’orang film’ yang mengatakan: ”Yang tidak menonton film nasional berarti tidak nasionalis.” Ketika itu saya mewawancarai psikolog (alm) Sartono Mukadis: ”Mas, kita tidak bisa menimbang berat badan dengan meteran, dan mengukur tinggi badan dengan timbangan.” Artinya, nasionalisme bukan diukur dari kegemeran menonton film Indonesia tapi adalah kepatuhan terhadap hukum dan ketaatan membayar pajak.

Begitu pula ketika ’orang-orang film’ mendorong pemerintah untuk menyetop film Hollywood ke Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (akan) membalas dengan menolak impor garmen. Karena devisa dan tenaga kerja yang ada di industri garmen jauh lebih besar daripada di industri perfilman, maka tidak ada alasan pemerintah menyetop film-film Hollywood.

Kita khawatir LSF ikut-ikutan ’membela’ film nasional dengan menerapkan sensor dengan ’kriteria karet’ yang sangat subjektif. Tapi, di pihak lain hal ini justru mendorong protes karena ada kalangan yang menilai beberapa bagian atau adegan dalam film dan sinetron yang di-LULUS-kan LSF tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Ada kesan film-film Hollywood digemari karena adegan-adegan sensual. Ini asumsi karena film-film Hollywood yang digemari tidak selamanya menampilkan adegan sensual. Sebaliknya, film nasional dengan adegan sensual, vulgar, dan sensasional jusrru tidak digemari banyak orang.

Selama LSF tidak mempunyai kriteria penilaian untuk menyensor film dan sinetron yang terukur maka selama itu pula kritik dan protes akan mengalir (deras). Di sisi lain kondisi ini tentu tidak baik bagi industri perfilman nasional. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun