“HIV/AIDS. Hati-hati Pisau Cukur Pengantar HIV/AIDS.” Ini judul berita di kompas.com (17/12-2010). Berita ini juga ada di www.surya.co.id, dan www.republika.co.id. Disebutkan: “Penggunaan pisau cukur secara bergantian seperti yang lazim digunakan di tempat pemangkasan rambut berpotensi menularkan penyakit HIV/AIDS.” Hal ini disampaikan oleh Ayundrawan Mohune, ketua Huyula Suport, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada penanggulangan dan mitra penderita HIV/AIDS.
Dalam laporan kasus kumulatif AIDS yang dikeluarkan Kemenkes RI per September 2010 disebutkan kasus AIDS di Prov Gorontalo ada 3, 2 tertular pada pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik bergantian, serta 1 sudah meninggal. Sedangkan data lain disebutkan dari Januari 2001 hingga November 2010 jumlah kasus HIV/AIDS di Gorontalo75.
Sayang tidak ada data tentang faktor risiko penularan 75 kasus yang dilaporkan. Pernyataan Ayundrawan terkait pisau cukur membingungkan karena di seluruh Indonesia penularan HIV terbanyak terjadi melalui hubungan seksual (heteroseksual) dan jarum suntik pada pengguna narkoba. Lagi pula belum ada laporan penularan HIV melalui pisau cukur.
Disebutkan: “Penularan dengan cara kontak darah yang terjadi melalui luka terbuka selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat awam.” Tapi, kasus penularan HIV terbanyak bukan melalui paparan darah yang mengandung HIV pada permukaan kulit.
Di Prov Gorontalo ada Perda No 10/2003 tanggal 21 November 2003 tentang Pencegahan Maksiat yang antara lain menyebutkan: pasal 6, ayat (1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan busana yang minim dan atau ketat. (Lihat: Syaiful W. Harahap, Perkosaan di Perda Pencegahan Maksiat Provinsi Gorontalo, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/22/perkosaan-di-perda-pencegahan-maksiat-provinsi-gorontalo/
Jika penularan HIV di Gorontalo terkait dengan pekerja seks komersial (PSK) tentulah merupakan tamparan terhadap perda ini. Maka, jika publikasi ini merupakan pengalihan faktor risiko hubungan seksual pada kasus-kasus penularan HIV di Prov Gorontalo tentu akan berdampak buruk terhadap epidemi HIV karena masyarakat tidak mengetahi cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV.
Biar pun tidak ada praktek pelacuran secara terbuka, seperti lokasi atau lokalisasi pelacuran, tempat hiburan dan panti pijat yang menyediakan layanan seks tidak berarti di Gorontalo tidak ada praktek pelacuran. Kegiatan zina dalam bentuk praktek pelacuran terjadi kapan saja dan di mana saja: di ruang terbuka, rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang yang melihatkan PSK tidak langsung.
Jika Pemprov Gorontalo berpegang pada ‘fakta’ bahwa di wilayah Gorontalo tidak ada pelacuran (terbuka), maka penyebaran HIV akan terjadi melalui pelacuran tertutup dengan PSK tidak langsung. Jika ini yang terjadi maka penyebaran HIV di Gorontalo akan menjadi masalah besar.
Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa depan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H