Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyikapi Rencana Pembangunan Lapas Narkoba

26 Januari 2011   12:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika di awal tahun 1980-an angka pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) masih sedikti kita justru mengabaikan kemungkinan buruk dari peredaran narkoba.

Angka yang kecil itu melahan dijadikan sebagai ‘lambang’ kejayaan moral dan budaya. Padahal, menurut dr Erwin Widjono, psikiater yang merintis pendirian RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) Fatmawati, Jakarta, angka itu kecil karena waktu itu daya beli masyarakat rendah dan kita relative terisolir karena sarana transpotasi ke luar negeri sangat terbatas. Jadi, amat wajar kalau angka resmi sangat kecil. Lagi pula ada kcenderungan angka itu pun bagaikan puncak dari fenomena gunung es (iceberg phenomenon) sehingga angka yang sebenarnya jauh lebih besar dari angka yang diumumkan polisi.

Narkoba kembali menjadi masalah besar ketika merebak penggunaan ecstasy. Media massa pun meramaikannya karena ada ‘bintang’-nya. Tidak urung MUI pun ‘diminta’ untuk mengeluarkan fatwa: ecstasy haram1 Tidak jelas apa tujuan fatwa ini karena alcohol pun haram tetapi tetap saja ditenggak orang dan banyak kasus kriminalitas justru dipicu alkohol

Setelah itu lagi-lagi narkoba pun tenggelam dari perhatian publik.

Penyalahgunaan narkoba kembali mencuat ke permukaan ketika muncul kasus-kasus infeksi HIV di kalangan penyalahguna narkoba, khususnya dari kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug user-IDU). Rupanya, kebiasaan mereka yang selalu memakai jarum suntik secara bergiliran meningkatkan risiko penularan HIV.

Belakangan Kakanwil Kehakiman Provinsi Bali, Made Parka SH, mengatakan di Bali akan dibangun lembaga pemasyarakatan (lapas) dan tumah tahanan (rutan) khusus untuk korban narkoba (Harian “Media Indonesia”, 18/8-1999). Pembanguan lapas dan rutan itu dinilai mendesak karena banyak kasus yang berkaitan dengan narkoba.

“Tidak ada manfaat lapas khusus narkoba,” kata Prof Wayne Wiebel, pakar narkoba dari AS. Dia menunjuk negaranya yang sudah menghabiskan ratusan juta dolar membangun penjara khusus untuk korban narkoba tetapi tetap tidak membuahkan hasil karena, “Siapa yang bisa menjamin mereka tidak memakainya di penjara.” Lagi pula, menurut Dave Burrows, konsultan narkoba asal Austalia, korban narkobamemerlukan rehabilitasi dan itu tidak akan diperoleh di penjara.

Biaya yang dikeluarkan untuk penjara khusus narkoba akan sangat besar sedangkan hasilnya kecil karena tidak bisa dijamin mereka akan menghentikan pemakaian narkoba setelah menyelesaikan masa hukuman. “Dunia medis tidak mengenal istilah sembuh dalam konteks penyalahgunaan nakoba,” kata dr Erwin. Maka, amatlah berlebihan kalau ada yang mengatakan dirinya bisa menyembuhkan ketagihan terhadap narkoba karena dalam dunia medis yang dikenal hanya ‘kemampuan mengontrol diri’.

Jadi, seseorang yang kecanduan dapat mengontrol diri dalam memakai narkoba. Tapi, suatu saat dia akan memakainya lagi karena berbagai faktor. Salah seorang pasien dr Erwin, misalnya, sudah belasan tahun meninggalkan narkoba tapi ketika bercerai dia kembali memakai narkoba.

Hal yang sama terjadi pada perokok. Biar pun sudah berhenti, tapi jika suatu saat sedang sendirian di malam sunyi tentu akan muncul lagi hasrat untuk merokok.

Maka, pecandu narkoba yang dihukum di penjara khusus narkoba, menurut Prof Wayne, kelak akan kembali lagi ke penjara itu. Begitu seterusnya. Dr Erwin sendiri melihat hanya dengan cara pendampingan pecandu narkoba dapat mengontrol dirinya, dan ”Tidak harus di rumah sakit atau di pusat rehabilitasi.”

Belakangan ini pecandu narkoba banyak dari kalangan remaja. Dr Erwin pun pernah menangani pasien remaja yang memakai narkoba karena ingin diperhatikan di sekolahnya. Ada kemungkinn hal itu terjadi karena orang tua dan guru selalu melihat prestasi anak-anak dari sudut pandang yang sangat sempit yaitu nilai eksakta, khususya matematika. Seorang murid yang mengantongi nilai menggambar 10 tidak berarti di mata guru dan orang tua kalau angka matematikanya merah.

Selain itu orang tua dan guru puns ering tidak fair terhadap anak-anak. Seorang murid yang naik dari peringkat 40 ke 35 hanya dilirik dengan sebelah mata, sedangkan murid yang turun dari peringkat 1 ke peringkat 5 masih dipuja-puja. ”Itu (melihat murid yang naik peringkat dengan sebelah mata-pen.) merupakan bentuk kejahatan dan penghinaan bagi murid,” kata Sartono Mukadis, psikolog di Jakarta.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ada anak-anak kita yang tidak betah duduk di kelas karena mereka disepelekan hanya karena nilai matematikanya merah. Inilah yang menjadi salah satu jembatan bagi mereka menuju perilaku-perilaku yang berisiko, seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan amit-amit, kemudian menjajakan diri atau mencuri untuk mendapatkan uang membeli narkoba. ***

[Sumber: Syaiful W. Harahap, Newsletter BeritaNAZA, No. 11, 21 Februari 2000]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun