Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sejak kasus HIV/AIDS pertama terdeteksi di daerah ini,1992, sampai 2011 tercatat 5.299 yang terdiri atas 3.550 HIV dan 1.749 AIDS dengan 544 kematian (544 Penderita HIV/AIDS Meninggal di Kepri, inilah.com, 28/1-2012).
Angka-angka kasus HIV/AIDS yang terus bertambah itulah yang disebutkan sebagai ’kian mengkhawatirkan’. Padahal, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama akan ditambah kasus baru sehingga angkanya akan terus bertambah atau meningkat biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Selain itu penemuan kasus yang banyak secara epidemiologi justru bagus karena satu kasus HIV/AIDS terdeteksi, maka satu mata rantai penyebaran HIV diputus.
Yang perlu diperhatikan oleh Pemprov Kepri adalah faktor risiko (mode of transmission) penyebaran HIV/AIDS di daerahnya. Jika sudah teridentifikasi faktor risiko, maka program penanggulangan pun mengacu ke faktor risiko tsb.
Celakanya, dahulu ketika Kepri masih masuk wilayah Prov Riau ada kebijakan di sana yang memulangkan pekerja seks komersial (PSK) yang mengidap HIV ke daerah asalnya. Kota Batam sendiri bisa menjadi 'pintu masuk' bagi penyebaran HIV/AIDS ke seluruh pelosok Nusantara (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).
Tapi, tanpa disadari laki-laki penduduk Riau, sekarang termasuk penduduk Kepri, yang menularkan HIV ke PSK dan yang tertular HIV ke PSK justru menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Biar pun disebutkan kasus HIV/AIDS pertama di Kepri terdeteksi tahun 1992, tapi penularan HIV di Kepri sudah terjadi sejak tahun 1997 (Lihat Gambar).
Menurut Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Kepri, Soerya Respationo: Banyaknya kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Provinsi Kepri perlu mendapat perhatian dan penanganan yang sangat serius dari pemerintah dan lembaga terkait lainnya.
Pemprov Kepri sudah menelurkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS. Sayangnya, memang perda itu sama sekali hanya ’macan kertas’ karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi-kepulauan-riau/).
Masih menurut Soerya: "Beberapa kendala yang dihadapi, di antaranya adalah masih belum samanya persepsi penanganan HIV/AIDS di masyarakat. Nanti kita suruh pakai kontrasepsi, dibilangnya prostitusi dilegalkan."
Soerya salah karena tidak semua alat kontrasepsi bisa dijadikan alat untuk mencegah penularan HIV, khususnya melalui hubungan seksual. Yang bisa dipakai hanya kondom.
Disebutkan pula program penanggulangan adalah ” .... salah satunya mendorong penggunaan alat pelindung hubungan seksual dengan target mencapai 65 persen ....”
Selama tidak ada cara-cara yang konkret dalam menerapkan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko, maka selama itu pula program tsb. tidak akan jalan.
Di Kepri tidak ada lokalisasi pelacuran sebagai regulasi sehingga program kondom tidak bisa diterapkan secara hukum. Padahal, penyebaran HIV/AIDS di Kota Batam didorong oleh hubungan seksual dengan PSK (lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/19/penyebaran-hivaids-di-batam-kep-riau/).
Selama praktek pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pula perilaku berisiko yaitu hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung, akan menyebarkan HIV di Kepri.
Pemprov Kepri tinggal menunggu waktu untuk ’panen AIDS’ karena penyebaran HIV yang terus terjadi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H