Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menkum HAM: Remisi bagi Koruptor Agar Lapas Tidak Penuh

18 Agustus 2016   10:53 Diperbarui: 18 Agustus 2016   11:02 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
10 Kasus Tahanan dan Napi Terbanyak di Rutan dan Lapas (Sumber: Humas Ditjen PAS, Kemenkum HAM)

Astaga. Rupanya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly tidak membaca data jumlah tahanan dan narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) yang justru dikeluarkan oleh Ditjen PAS yang merupakan bagian dari Kemenkum HAM. Menurut Yasonna, jika semua narapidana korupsi tak mendapat remisi, maka dibutuhkan tambahan lembaga pemasyarakatan (Lapas) [Menteri Yasonna Berkeras Ada Remisi Bagi Koruptor: Kalau Tidak Lapas Penuh, detiknews, 17/8-2916].

Data Ditjen PAS yang dilansir melalui Humas Ditjen PAS menunjukkan komposisi tahanan dan napi di Rutan dan Lapas justru yang lebih banyak adalah terkait kasus narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) yaitu 77.351. Bandingkan dengan kasus korupsi 4.907.

Alasan Menkum HAM Yasonna itu jelas tidak masuk akal dan di luar akal sehat karena persentase tahanan dan narapidana koruptor hanya 1,92 persen dari tahanan dan napi yang ada di rutan dan lapas di seluruh Indonesia. Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian pegiat antikorupsi Emerson Yuntho menyarankan agar Yasonna membaca baik-baik data jumlah napi koruptor di Lapas (detiknews, 18/6-2016).

Agaknya, bagi Yasonna angka 1,92 persen itu sangat besar. Atau ‘penerawangan’ Yasonna tahanan dan napi koruptor akan melebihi kasus narkoba? Kalau ini yang menjadi dasar pemikiran Yasonna, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah harus mengambil langkah-langkah strategis menghadapi booming korupsi seperti ‘penerawangan’ Yasonna.

Memang, kalau memakai akal sehat pernyataan Yasonna itu justru menjungkirbalikkan akal sehat karena yang membuat rutan dan lapas over capacity (kelebihan daya tampung) justru kasus narkoba yang mencapai hampiar separuh kapasitas rutan dan lapas di Indonesia penuh sesak karena tahanan dan napi narkoba.

Penjara narkoba (Repro: www.dailymail.co.uk)
Penjara narkoba (Repro: www.dailymail.co.uk)
Tahanan dan napi narkoba banyak mengisi rutan dan lapas karena sistem peradilan, khususnya pagi kasus penyalahgunaan narkoba, yang lebih berorientasi pada penghukuman. Itu pulalah yang membuat pemerintah membangun lapas khusus narkoba. Pada saat yang sama banyak negara di dunia justru menutup penjara narkoba karena tidak ada manfaatnya. Berkaitan dengan pembangunan LP dan rutan napi narkoba, seorang pakar narkoba dari AS, Prof. Wayne Wiebel, yang sudah beberapa kali ke Indonesia untuk keperluan seminar dan pelatihan narkoba, mengatakan tidak ada manfaat LP khusus narkoba (Menghitung-hitung Untung Rugi LP Narkoba).

Peradilan di banyak negara pun kemudian mengutamakan hukuman berupa rehabilitasi medis daripada hukuman fisik di penjara. Lagi pula, menurut Dave Burrows, konsultan narkoba di Australia yang juga pernah ke Indonesia, korban narkoba memerlukan rehabilitasi dan itu tidak akan pernah diperoleh napi narkoba selama di LP (Menghitung-hitung Untung Rugi LP Narkoba).

detox-57b530357fafbdc30ba67d42.jpg
detox-57b530357fafbdc30ba67d42.jpg
Fakta menunjukkan penyalahgunaan narkoba terjadi di lapas. Yang mengejutkan adalah peredaran narkoba justru dikendalikan oleh napi narkoba dari balik jeruji besi. Maka, Burrows benar karena di lapas napi narkoba tidak mendapatkan rehabilitasi, seperti detoksifikasi (mengeluarkan racun narkoba dari dalam tubuh) serta tidak ada pengobatan penyakit terkait penyalahgunaan narkoba yaitu HIV/AIDS.

Dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga jelas diatur rehabilitasi sebagai masa huuman bagi kasus nakoba, yaitu di Pasal 103:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun