Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Benar Enak Menjadi PSK?

10 Maret 2012   01:14 Diperbarui: 8 April 2023   11:07 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: sciencenordic.com)


*Catatan: Naskah ini tanggapan terhadap berita Harian “Radar Bromo” sebagai gambaran pandangan terhadap pekerja seks sembilan tahun yang lalu dan sekarang.


Berita “Ditanya Orgasme, Dijawab Mesem” yang dimuat Harian “Radar Bromo” edisi 31 Oktober 2003 menggambarkan keterpurukan PSK (pekerja seks komersial) sebagai manusia. Tak ada empati dalam berita itu.


Pernyataan hakim, Abdul Kohar SH, seperti dikutip wartawan “Radar Bromo”: “Pekerjaan ini memang enak dan mudah dapat uang” merupakan asumsi karena tidak didukung dengan fakta empiris. Beberapa penelitian tentang PSK menunjukkan mereka terpaksa menggeluti pekerjaan itu karena berbagai alasan.


“Tawa kami adalah tangis hati kami”. Itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut PSK jika ditanya dengan empati.

Maaf, Pak Hakim, apa benar menjadi PSK enak?


Bukankah tidak lebih enak menjadi koruptor? Ketika korupsi dan praktek KKN mendera negeri ini tak satu pun wartawan yang menyebutkan koruptor dan pelaku KKN sebagai ‘orang yang  tuna susila’. Begitu pula dengan laki-laki ‘hidung belang’ tidak pernah disebut sebagai ‘laki-laki tuna susila’. Sebaliknya, PSK dicap sebagai ‘wanita tuna susila’. Ini jelas tidak adil.


Tarif yang mereka tetapkan tidak semuanya mereka kantongi. Ada bagian calo, mucikari, keamanan, preman, dll. Sayang, wartawan yang menulis berita itu tidak mengaitkan berbagai fakta empiris yang terkait dengan praktek prostitusi. Ini menunjukkan wartawan memakai sudut pandang moralitas dirinya sendiri ketika menulis berita sehingga berita yang muncul tidak komprehensif.


PSK merupakan penduduk yang tercerabut dari komunitasnya sehingga mereka berada pada posisi powerless dan voiceless. Dalam berita itu wartawan menjadi ‘hakim’ yang menjadikan PSK sebagai objek (berita) sehingga tidak ada empati sama sekali.


Empati bukan simpati karena kalau simpati berita yang muncul hanyalah sensasi. Empati adalah upaya untuk menyelami perasaan PSK dan menjadikan mereka sebagai subjek berita sehingga muncul berita yang komprehensif. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun