Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS NTT

22 November 2010   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:24 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh Syaiful W Harahap*

Catatan: Tulisan ini dimuat sebagai artikel Opini di Harian "Pos Kupang", 21 Agustus 2008.

SAMPAI Juni 2008 kasus HIV/AIDS di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan 378 kasus, 103 orang di antaranya telah meninggal dunia. Angka ini hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Pemprop NTT menelurkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda ini efektif menanggulangi epidemi HIV di NTT?

Kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) dijadikan pemerintah sebagai kasus pertama di Indonesia. Padahal, jauh sebelumnya ada kasus AIDS di Jakarta tapi pemerintah menyebutnya sebagai ARC (AIDS related complex). Selain itu tahun 1988 ada seorang penduduk Indonesia asli yang juga meninggal di Bali dengan indikasi terkait AIDS.

Penetapan kasus pertama ini mengadung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. Soalnya, sejak kasus AIDS dipublikasikan, bahkan sampai sekarang, ada anggapan bahwa HIV/AIDS penyakit orang bule. Kemudian AIDS terjadi pada kalangan homoseksual. Dua mitos inilah antara lain yang membuat banyak orang terlena sehingga kasus HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini.

Aturan Normatif

Soalnya, banyak orang merasa dirinya bukan bule dan tidak pula gay. Akibatnya, banyak orang yang merasa aman melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perilaku berisiko inilah yang memicu penyebaran HIV di Indonesia. Maka, tidak mengherankan kalau laju epidemi kasus HIV/AIDS di Indoensia tercepat di Asia.

Dalam perda di pasal 4 ayat 1 memang disebutkan salah satu upaya pencegahan melalui kegiatan promosi yang meliputi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Persoalannya, adalah: Apakah materi KIE itu benar-benar berisi fakta medis tentang HIV/AIDS? Soalnya, selama ini materi KIE banyak yang hanya mengandung mitos karena dibalut dengan norma, moral, dan agama.

Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan "... dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat." Ini sangat normatif. Apa ukuran 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' yang bisa mencegah HIV? Selain itu hal ini pun mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena ada kesan Odha tertular HIV karena tidak bersikap dan berperilaku hidup bersih dan sehat.

Dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara 'sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat' dengan penularan HIV. Sebagai virus dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Maka, penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tato, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun