Kalau saja Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, bisa ‘meneropong’ dunia pendidikan nasional dari ‘alam sana’ tak pelak lagi beliau bisa menitikkan air mata karena ketimpangan angka paritisipasi pendidikan yang jomplang. Pemerintah daerah, seperti pemerintak kabupaten dan pemerintah kota, pun belum mengalokasikan dana pendidikan yang berarti untuk mendukung kelancaran pendidikan.
Selalu saja ada berita tentang anak-anak yang putus sekolah. Ada yang tidak bisa menyelesaikan pendidikan di jenjang SD, SMP dan SMA, tapi ada pula yang tidak bisa melanjut ke jenjang berikutnya. Misalnya, lulus SD tidak bisa dilanjutkan ke SMP karena alasan ekonomi.
Maka, beruntunglah warga DKI Jakarta karena Pak Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, menjamin biaya pendidikan mulai dari uang sekolah, biaya kebutuhan sekolah sampai dengan bus sekolah. Bahkan, mulai tahun ini Pemprov DKI Jakarta membayar biaya kuliah dan biaya hidup pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang diterima di perguruan tinggi negeri (PTN).
Kewajiban vs Hak
Kalau saja pemerintah-pemerintah daerah lebih mementingkan pendidikan tentulah harkat hidup penduduk akan terus terangkat dari keterpurukan. Misalnya, mengalokasikan dana dari APBD sebagai kredit bagi mahasiswa yang kelak mereka kembalikan setelah bekarja [Menggagas Pinjaman (Kredit) untuk (Calon) Mahasiswa].
KJP inilah yang membuat angka partipasi pendidikan di Jakarta lebih dari 95 persen. Dengan program KJP adalah mustahil ada anak-anak yang tidak bersekolah di Jakarta. Langkah Pemprov DKI ini perlu digagas di daerah lain karena alokasi dana APBD belum realistis karena banyak untuk keperluan politis, seperti beli baju pejabat, dll.
Dunia pendidikan nasional pun berhadapan dengan angka partisipasi pendidikan yang kecil, bahkan ada yang hanya sekitar 60-an persen, terutama bagi perempuan. Ini terjadi karena ada bias gender karena pemahaman kesetaraan gender yang tidak tepat. Ada mitos (anggapan yang salah) tentang perempuan yaitu disebut-sebut kodratnya kelak hanya sebagai ibu rumah tangga sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Namanya juga mitos tentu saja tidak benar. Tapi, itulah yang terjadi. Padahal, yang dimaksud dengan kodrat adalah ciri-ciri fisik yang dibawa sejak lahir dan tidak bisa berubah, seperti alat kelamin. Sedangkan fungsi dan peran perempuan merupakan gender yaitu terjadi karena pengaruh budaya dan pemahaman agama yang sempit. Seperti, memasak, mencuci, dan mengasuh anak bukan kodrat perempuan karena hal ini juga dilakukan laki-laki. Bahkan, juru masak di restoran dan hotel serta perangkai bunga justru lebih banyak laki-laki.
Padahal, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi PBB tentang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), termasuk Indonesia, sudah sepakat untuk membuat pendidikan bisa dinikmati oleh semua orang (education for all). Inilah komitmen lokal ke nasional dan bermuara global dalam pembangunan pendidikan. Semboyan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegaitan ‘Bulan Pendidikan Kebudayaan’ karena menyangkut budaya sebagai faktor yang menentukan dalam kegiatan pendidikan.
Masalah yang sangat mendasar adalah sikap dan pandangan di sebagian masyarakat Indonesia terhadap pendidikan tidak melihat peluang yang bisa diraih anak-anak mereka jika sudah menjalani pendidikan sampai ke puncak keilmuan.
Semboyan ‘wajar’ yaitu wajib belajar terkesan menekan orang tua karena tergambar orang tua wajib menyekolahkan anak. Padahal, secara universal pendidikan dasar 9 tahun yaitu SD-SMP adalah hak anak. Maka, pemerintah yang wajib menyediakan akses pendidikan dasar yang luas. Celakanya, dengan program ‘wajar’ tidak semerta memberikan ruang dan peluang bagi semua anak-anak untuk bersekolah karena ada sekolah yang mewajibkan pembayaran untuk banyak hal, mulai dari uang bangku, buku, seragam, dst.