Sengatan terik matahari di siang itu (7/7-2011) seakan tidak dirasakan oleh seorang cewek berpenutup kepala di bawah tenda pendaftaran (calon) mahasiswa di Bulaksumur, Yogyakarta. Sambil memegang ponsel matanya melirik orang-orang yang keluar dari gedung pendaftaran yang berjalan dengan senyuman.
“Sudah daftar, Dik?”
Sambil menghela napas, gadis itu, sebut saja Ayu, menundukkan kepala: “Belum, Pak.” Suaranya datar. Wajahnya tanpa ekspresi. Hanya matanya yang berkedip-kedip.
Ada apa gerangan?
Rupanya, Ayu tidak bisa membayar uang pendaftaran sebesar Rp 7,2 juta. Dia diterima di jurusan Bahasa Arab. Ayu mengajukan permohonan untuk mendapatkan keringanan. Sayang, Ayu tidak merinci keringanan yang dimintanya pada surat yang dia ajukan ke bagian administrasi akademik.
Agaknya, Ayu tidak sendiri karena beberapa orang tua juga mengerutkan dahi ketika keluar dari gedung adminitrasi pendidikan. Mereka pun rupanya hanya bisa mengajukan surat keringanan sehingga pendafataran anaknya tertunda.
”Silakan ditunggu. Tanggal 11 Juli dibertahu melalui telepon.” Itulah jawaban dari direktorat keuangan universitas tentang keputusan pengajuan keringanan pembayaran.
Kesulitan dana yang dihadapi beberapa calon mahasiswa itu menunjukkan betapa dunia perbankan nasional tidak berpihak kepada anak bangsa.
Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional belum menjadikan (calon) mahasiswa sebagai bagian dari kegiatan CSR (corporate social responsibility) mereka. CSR adalah kegiatan sebagai wujud tanggung jawab terhadap masyarakat di sekitar perusahaan tsb. Dalam kaitan ini perusahaan membantu (calon) mahasiswa dari daerah tempat perusahaan tsb. beroperasi.
Maka, anak-anak (kita) yang tidak bisa menyediakan dana kontan untuk melunasi uang pendaftaran merana dalam kesendirian di tengah hiruk-pikuk ‘pemerintahan kleptrokrasi’.
Kalau alasan perbankan mengabaikan pinjaman bagi (calon) mahasiswa karena takut kredit akan dikemplang, maka alasan itu amat menusuk hati karena tidak sedikit orang yang mengemplang kredit di bank-bank pemerintah dengan jumlah ratusan juta hingga triliunan rupiah. Bahkan, kasus-kasus terkait dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yaitu dana yang disediakan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran di sektor perbankan) tidak kunjung tuntas.
Ketidakmampuan beberapa calon mahasiswa membayar uang pendaftaran bagaikan proses ’pemiskinan sistemis’. Mereka tidak bisa mendapatkan peluang yang lebih baik dari orang tua mereka. Bisa saja ada di antara mereka yang kembali mengikuti jejak orang tua: petani, pengojek, pedagang asongan, dll.
Jika kelak mereka tidak mempunyai pendapatan yang bisa ditabung untuk biaya pendidikan anak-anak mereka, maka proses pemiskinan pun terulang lagi. Begitu seterusnya sehingga upaya mengentaskan kemiskinan hanya sebatas retorika.
Kredit yang diterima (calon) mahasiswa terutama untuk biaya pendaftaran (al. biaya peningkatan mutu akademi, asuransi, jaket, biaya kredit semester, dll.) bisa mereka kembalikan karena yang mereka hadapi adalah kesulitan untuk mendapatkan uang kontan sebesar uang pendaftaran.
Yang dikhawatirkan jika ada anggapan bahwa kesulitan yang dihadapi Ayu dan yang lain justru dianggap sebagai ’keuntungan’ bagi yang mampu karena mengurangi saingan. Tapi, jika dilihat dari aspek kenegaraan, maka ’nasib’ Ayu dan yang lain yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena kemiskinan (orang tua) adalah aib bagi negeri.
Tapi, masih adakah hati nurani (kita)?
Memang, pemerintah, dalam hal ini perguruan tinggi, memberikan bea siswa kepada calon mahasiswa yang pintar. Tapi, apakah calon mahasiswa dengan nilai akademis rata-rata, seperti Ayu, tidak mempunyai hak untuk melanjutkan pendidikan dengan dana pemerintah?
Negara, dalam hal ini, pemerintah tidak miskin. Buktinya, pegawai dan anggota legislatif bergelimang dengan rupiah.
Uang pajak dikorupsi dengan ancaman hukuman yang tidak lebih berat dari maling.
Dana APBD dipakai untuk keperluan baju dinas, mobil dinas, dll. yang tidak ada signifikansinya dengan perbaikan ekonomi rakyat.
Bahkan, APBD digerogoti untuk membayar pemain asing di klub-klub sepak bola yang hanya menghasilkan anarkisme di kalangan pemain dan pendukung klub.
[Baca juga: Dana APBD Direnggut Klub Sepak Bola PSSI]
Di sudut lain di halaman gedung administrasi pendidikan itu beberapa mahasiswa memegang selembar kertas bertuliskan nama agama. Di sisi lain dari gedung itu ada lagi mahasiswa memajang spanduk bertuliskan nama daerah.
Apakah ada kaitan langsung antara agama dan daerah asal dengan (mutu) pendidikan (tinggi)?
Kalau saja mahasiswa tadi, yang di masyarakat dijuluki kaum inteletual, memasang spanduk atau selebaran yang bertuliskan: “Untuk calon mahasiswa yang menghadapi kesulitan!” tentu akan lain nuansanya.
Sayang, tidak ada yang (mau) membantu Ayu untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya. Kalau orang tua dan keluarganya bisa menyediakan uang kontan, tentu dia tidak termangu-mangu di bawah ’tenda biru’ itu.
Ayu hanya pasrah menunggu pemberitahuan dari universitas: ”Menunggu keputusan rektor,” katanya, lagi-lagi dengan suara yang datar sambil melihat yang lalu lalang di depannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H