[caption id="attachment_99728" align="aligncenter" width="640" caption="Iluistrasi/Admin (Tribun Batam)"][/caption]
Kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita (TKW) di beberapa negara, seperti di Malaysia, Singapura, dan negara-negara teluk, merupakan gambaran riil terkait dengan perlindungan bagi TKI/TKW. Bahkan, dampak pemerkosaan terhadap TKW bisa terjadi dalam bentuk penularan HIV. Kasus HIV/AIDS di beberapa daerah terdeteksi pada TKI, khususnya TKW.
Hasil rakor tentang perlindungan TKI di luar negeri seperti yang ada dalam berita, “Pemerintah Bentuk Tim Advokasi TKI” (Harian “Media Indonesia”, 1/11-2003), tetap tidak memberikan langkah konkret untuk melindungi TKI, terutama TKW, di luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Yang dikemukakan hanyalah wacana. Berapa pun petugas yang direkrut menjadi tim advokasi tetap saja tidak akan bisa mengatasi perlakuan majikan terhadap TKI karena mereka tidak berada 24 jam setiap hari di rumah tempat TKI bekerja dengan kondisi rumah atau bangunan yang tertutup. Bayangkan satu anggota memantau 10.000 TKI. Apakah ini masuk akal?
Tim advokasi akan membawa kasus yang dialami TKI ke pengadilan. Apakah perlakuan terhadap TKW, seperti pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan, merupakan delik hukum pidana di Arab Saudi dan Kuwait? Lalu, apa pula sistem hukum yang berlaku di sana? Kalau ternyata mereka mempunyai hukum yang mengacu ke agama tentu sangat sulit ditembus. Yang dikhawatirkan terjadi justru pemborosan uang negara untuk membayar tim advokasi dan pengacara setempat karena perkaranya tidak bisa dibawa ke pengadilan.
Karena kasus yang banyak muncul adalah pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan, dan upaya yang tidak dibayar, maka perlu ditelusuri sistem hukum di sana, Apakah pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan, dan tidak membayar upah ‘terhadap perempuan yang menjadi budak’ merupakan pelanggaran hukum pidana?
Nah, kalau pemerkosaan (yang bisa dianggap sebagai bentuk ‘hak’ melakukan hubungan seksual bagi majikan terhadap budak yang dipeliharanya di negara yang menjadikan kitab suci atau agama sebagai UU) tidak merupakan pelanggaran hukum pidana di satu negera, maka manalah mungkin tim advokasi menggugatnya ke pengadilan setempat.
Lagi pula untuk apa lagi dibawa ke pengadilan kalau TKW sudah diperkosa, dipukuli, mati, dll? Dengan demikian, sangat tidak masuk akal ketika ada anggota DPR dalam Parliament Watch tentang TKI yang disiarkan MetroTV, menyebutkan majikan di sana diwajibkan mengizinkan TKI berkumpul sekali sebulan. Lha, sebelum berkumpul di kedutaan mereka sudah diperkosa, disiksa, mati, dll.
Mengapa kita tidak berkaca ke negara lain, seperti Filipina, Bangladesh, Pakistan, dll. yang juga memasok tenaga kerja ke kawasan teluk, tapi relatif tidak ada masalah? Yang diperlukan adalah perlindungan di negara tempat mereka bekerja bukan UU seperti yang ramai dibicarakan karena UU Indonesia tidak bisa dipakai di negara lain.
Perlindungan terhadap TKI diperlukan agar mereka tidak diperkosa, tidak disiksa, dll. Bagaimana caranya? Ya, tentu saja dengan membuat semacam employee agreement antara TKI dengan majikan yang disaksikan oleh atase perburuhan kita di negara setempat. Dalam perjanjian itu disebutkan hak dan kewajiban masing-masing dengan rinci, al. paspor dipegang oleh TKI, nama dan alamat majikan dicatat di KBRI, perpindahan majikan yang membawa TKI wajib dilaporkan ke KBRI. Perjanjian ini tentu saja harus melibatkan negara yang bersangkutan sehingga diperlukan perjanjian bilateral.
Tanpa perjanjian tertulis secara bilateral dikhawatirkan TKI disamakan dengan ‘budak’ karena majikan di sana ‘membeli’ TKI dari agency. Dikhawatir kalau pun ada perjanjian kerja bisa jadi hanya antara agency di negara setempat dengan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
Di Malaysia, ada majikan yang ‘membeli’ TKI dari agency atau tekong, misalnya, 2.400 ringgit dengan janji akan digaji 600 ringgit sebulan. Apa yang terjadi? Pada bulan keempat majikan tadi menelepon polisi mengatakan di rumahnya ada imigran gelap. TKI ditangkap karena memang tidak mempunyai paspor dan calling visa sebagai bukti panggilan kerja. Majikan tidak membayar upah bagi TKI seperti yang dinjanjikan dengan alasan dia sudah membayar ke agency atau tekong sebesar upah empat bulan. Dia kembali ‘membeli’ TKI dari agency, begitu seterusnya.
Kalau, misalnya tim advokasi, mau membela TKI tadi, dari sudut mana yang bisa diperkarakan? TKI tadi tidak mempunyai ikatan kerja resmi. Ketika ditangkap tidak mempunyai paspor sehingga termasuk imigran gelap. Nama dan alamat majikannya pun tidak diketahuinya.
Jadi, yang diperlukan adalah perlidungan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat antara majikan dan TKI di negara tempat TKI bekerja. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H