Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Pengidap AIDS yang Belum Terdeteksi di Kota Bandung

30 April 2011   06:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:14 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikabarkan: Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung mengusulkan dana sebesar Rp 1,5 miliar kepada pemerintah setempat untuk program Warga Peduli AIDS (WPA). Menurut Sekretaris Harian Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung,Koswara Sonka, dana tsb. akan dipakai untuk mencari pengidap AIDS yang belum terditeksi. (KPA Bandung butuh dana Rp 1,5 miliar untuk tangani AIDS, bisnis-jabar.com, 31/3-2011).

Jika dibawa ke realitas sosial, maka program tsb. bekerja menunggu penduduk Bandung tertular HIV. Artinya, yang dicari adalah penduduk yang sudah mengidap HIV. Dalam berita tidak dijelaskan sasaran program. Ada kesan program itu menyasar semua penduduk. Ini keliru karena tidak semua orang berisiko tertular HIV.

Tapi, tunggu dulu. Siapa, sih, penduduk Kota Bandung yang (sudah) tertular HIV? Mereka itu adalah:

(a) laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Kota Bandung atau di luar kota Bandung;

(b) laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di Kota Bandung atau di luar kota Bandung.

Program yang akan dijalankan KPA Kota Bandung melalui Warga Peduli AIDS (WPA) adalah mencari penduduk Kota Bandung yang sudah mengidap HIV. Celakanya, tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di masyarakat. Bandingkan dengan Malaysia atau negara lain yang mempunyai mekanisme mendeteksi HIV di masyarakat (Lihat Tabel 1).

[caption id="attachment_105246" align="aligncenter" width="417" caption="Tabel 1. Survailans di Beberapa Negara Asia Pasifik"][/caption]

Selain tidak ada mekanisme yang konkret di saat WPA melakukan program ‘pencarian’ penduduk yang terdeteksi HIV insiden penularan HIV (baru) terus terjadi. Laki-laki dewasa penduduk Kota Bandung tetap ada yang melakukan perilaku berisiko. Laki-laki dewasa yang sudah tertular HIV menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seksual lain, atau PSK. Sedangkan istri yang tertular HIV dari suami juga berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya (Lihat Gambar 1).

[caption id="attachment_105249" align="aligncenter" width="492" caption="Gambar 1. Risiko Penularan HIV dan Deteksi HIV di Kota Bandung"][/caption]

Disebutkan oleh Koswara: “Kami sedang menggalakkan program ini kepada seluruh kalangan.” Sayang, dalam berita tidak dijelaskan cara yang ditempuh. Tentu tidak mungkin mendatangi setiap orang. Maka, cara yang konkret adalah yang dilakukan di beberapa negara seperti pada Tabel 1.

Diberitakan: “Pengidap AIDS di kalangan ibu rumah tangga naik 7 persen dari 2.200 kasus yang terdeteksi virus mematikan itu.” Pernyataan ini tidak akurat karena sampai hari ini belum ada laporan kematian karena HIV (virus) dan AIDS. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi karena penyakit-penyakit pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, setelah tertular HIV antara 5 dan 15 tahun.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang meningkat di kalangan ibu-ibu rumah tangga, maka pertanyaannya adalah:

1. Mengapa pengidap AIDS di kalangan ibu rumah tangga meningkat?

2. Apakah ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS itu terikat dalam pernikahan?

3. Bagaimana cara penularan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga tsb.?

4. Siapa yang menularkan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga itu?

5. Apakah yang menularkan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga itu menjalani konseling untuk tes HIV?

Menanggulangi penyebaran HIV bisa efektif jika bertolak dari jawaban pertanyaan di atas. Salah satu langkah yang konkret adalah melakukan intervensi terkait dengan perilaku (dalam gambar ditunjukkan dengan garis panah putus-putus).

Langkah pertama: (a) mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan perilaku berisiko di dalam dan di luar nikah di mana saja, dan (b) mewajibkan setiap perempuan dewasa hanya meladeni laki-laki yang memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko di dalam dan di luar nikah di mana saja.

Jika langkah pertama tidak bisa dilakukan, maka ada langkah kedua, yaitu: mewajibkan setiap laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko tertular HIV memakai kondom jika sanggama dengan istrinya atau perempuan lain.

Kalau langkah kedua juga tidak tercapai, maka langkah terakhir (ketiga) yaitu menjalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Program ini dikenal sebagai PMTCT (prevention-mother-to-child-transmission). Langkah ketiga ini membuka persoalan baru karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.

Kian banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Tapi, perlu diingat jika pasangan (suami) ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV tsb. tidak menjalani tes HIV maka mereka tetap menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual.

Selain itu kian banyak kasus terdeteksi maka kebutuhan obat antretroviral (ARV) dan obat untuk infeksi oportunistik pun meningkat pula. Sekarang Pemkot Bandung bisa bernapas lega karena ada donor asing yang mendanai pembelian obat ARV.

Kalau donor asing tsb. kelak menghentikan bantuan, tentulah Pemkot Bandung kelimpungan karena dana yang dibutuhkan sangat besar. Pemprov Sumatera Utara, misalnya, mengeluarkan dana Rp 19 miliar/tahun untuk membeli ARV bagi 444 Odha. Seorang Odha membutuhkan dana Rp 3,6 juta per bulan. (Waspada, 5/11-2009).

Dengan 2.200 kasus tentulah Pemkot Bandung harus merogoh kocek APBD Rp 96 miliar/tahun. Angka ini akan bertambah seiring dengan pertambahan kasus AIDS.Celakanya, Pemkot Bandung mengucurkan dana Rp 32 miliar/tahun ke klub sepak bola (Lihat: http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/02/21/dicari-ketua-umum-pssi-yang-tidak-akan-memakai-dana-apbd/).

Apakah Pemkot Bandung lebih mementingkan sepak bola yang tidak punya prestasi selain menghasilkan keonaran atau mendanai pembelian ARV untuk kesehatan rakyatnya?

Pilihan ada di tangan Pemkot Bandung. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun