Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mencapai ‘Indonesia Bebas Insiden Infeksi HIV Baru pada Tahun 2015’ dengan Penanggulangan di Hilir

4 Maret 2012   13:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* Penanggulangan mengabaikan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko (di hulu)

Terkait dengan ‘jargon’ Indonesia bebas insiden infeksi HIV baru pada tahun 2015 sesuai dengan target Millenium Development Goals (MDG's) dikabarkan bisa dicapai melalui tujuh langkah, seperti yang diberitakan di health.detik.com (2/3-2012).

Tujuh langkah yang dikumandangkan pemerintah untuk mencapai target ‘Indonesia bebas insiden infeksi HIV baru pada tahun 2015’, yaitu:

1. Pencegahan penularan dari ibu ke bayi dengan cara pemberian tes HIV AIDS sejak dini

2. Pemberian ARV pada penderita HIV AIDS.

3. Distribusi ARV ke darah-daerah pelosok dan penduduk miskin yang berisiko.

4. Mengkampanyekan sunat, karena sunat terbukti menurunkan risiko AIDS sebesar 69%.

5. Memberikan pengarahan kepada ODHA agar menjaga kesehatan dan tidak menularkan penyakitnya.

6. Berfokus pada pemberdayaan masyarakat dengan melindungi laki-laki dan perempuan yang berisiko.

7. Menjaga produk darah tetap steril dari virus HIV sebelum transfusi.

Jika disimak maka tujuh langkah itu merupakan langkah penanggulangna di hilir. Artinya, menunggu orang tertular HIV dulu baru ditangani dengan tujuh langkah itu. Penanggulangan HIV/AIDS selama ini juga dilakukan di hilir (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/09/penanggulangan-aids-di-indonesia-hanya-dilakukan-di-hilir/).

Langkah pertama, misalnya, tentulah harus (menunggu) ada dulu ibu rumah tangga, perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah, yang mengidap HIV. Artinya ibu rumah tangga itu tertular HIV dulu, lalu hamil baru kemudingan ditangani untuk mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ini merupakan langkah penanggulangan di hilir. Klassifikasi ini pun sudah saatnya diperbaiki. Bukan ibu rumah tangga tapi perempuan. Kondisi pada langkah pertama ini sudah ada suami yang tertular HIV. Bisa saja suami ini justru yang menularkan HIV kepada perempuan lain, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Langkah kedua pun jelas sekali harus menunggu orang mengidap HIV/AIDS dulu agar bisa diberikan obat antiretroviral (ARV). Ini jelas di hilir.

Langkah ketiga distribusi obat ARV tentu saja hanya untuk orang-orang yang sudah mengidap HIV. Biar pun secara teoritis oba ARV menurunkan risiko penularan dari Odha (Orang dengan HIV/AIDS) ke orang lain, tapi itu hanya pada orang yang sudah tertular HIV. Ini juga di hilir.

Langkah keempat yaitu memasyarakatkan sunat. Disebutkan sunat terbukti menurunkan risiko penularan HIV sebesar 69 persen. Menurunkan risiko tertular HIV (sunat) jauh berberda dengan mencegah penularan HIV (kondom). Lagi pula sunat bisa mendorong laki-laki tidak memakai kondom karena menganggap sudah ’memakai kondom alam’ (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/13/kondom-lateks-ditolak-%E2%80%98kondom-alam%E2%80%99-sunat-jadi-pilihan/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/03/kondom-lateks-vs-%E2%80%98kondom-alam%E2%80%99-sunat/).

Mengapa pemerintah tidak meningkatkan sosialisasi pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko?

Mengganti kondom dengan sunat adalah langkah mundur. Bahkan, sunat yang dikampanyekan bisa menurunkan risiko ditangkap sebagian orang sebagai ’kondom alam’. Ini bumerang bagi laki-laki yang disunat, terutama pemeluk agama Islam.

Lagi pula sunatisasi akan menimbulkan friksi horizontal karena sunat sudah diidentifikasikan sebagai bagian dari kehidupan beragama di kalangan muslim. Maka, amat tidak arif menganjurkan sunat kepada masyarakat dengan mayoritas nonmuslim, seperti di Tanah Papua (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/20/aids-di-papua-sunat-bisa-menjerumuskan-karena-dianggap-kondom-alam/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/01/catatan-hari-aids-sedunia-%E2%80%9Ckondom-alam%E2%80%9D-dorong-penyebaran-hivaids/).

Langkah kelima juga jelas penanggulangan di hilir. Tanpa kegiatan ini pun pada saat konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes HIV sudah disampaikan kepada orang-orang yang akan menjalani tes HIV.

Langkah keenam tidak jelas siapa yang dimaksud dengan laki-laki dan perempuan yang berisiko. Disebutkan upaya pemberdayaan laki-laki dan perempuan yang berisiko. Ini amat sumir. Untuk apa mereka diberdayakan? Apa bentuk pemberdayaannya? Bagaimana (hasil) pemberdayaan itu bisa menghentikan penularan HIV baru?

Langka ketujuh tetap mengandung risiko karena ada kemungkinan donor menyumbangkan darah pada masa jendela sehingga uji saring darah donor bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu. Untuk mengatasi hal ini Malaysia memakai standar internasional yang dikeluarkan oleh ISO (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/05/hak-bebas-hiv-melalui-transfusi-darah/).

Melihat tujuh langkah yang dijalankan pemerintah tidak ada yang konkret mencegah insiden infeksi HIV baru di hulu.

Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV adalah perilaku seksual laki-laki ’hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, realitas sosial ini tidak menjadi program untuk mencapai ‘Indonesia bebas insiden infeksi HIV baru pada tahun 2015’.

Ada kesan pemerintah yakin bahwa tidak ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK di Indonesia. Ini adalah keyakian semu karena praktek pelacuran terjadi di mana-mana di Indonesia.

Dengan tujuh langkah yang akan dijalankan pemerintah tentulah upaya untuk mencapai ‘Indonesia bebas insiden infeksi HIV baru pada tahun 2015’ adalah mimpi. Utopia. Bak punguk rindukan bulan.

Tahun 2012 belum semua penduduk yang mengidap HIV terdeteksi. Artinya, mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Nah, orang-orang yang tertular HIV sebelum tahun 2012 baru akan ketahuan setelah tahun 2012, yaitu pada masa AIDS karena sudah ada infeksi oportunistik (secara statistik masa AIDS setelah tertular antara 5 dan 15 tahun). Itu pun kalau mereka berobat ke rumah sakit atau puskesmas. Kalau tidak berobat maka mereka tidak akan terdeteksi sebagai orang yang mengidap HIV/AIDS.

Pada tahun 2012 pun ada insiden infeksi HIV baru. Orang-orang yang tertular tahun 2012 akan mencapai masa AIDS antara tahun 2017 dan 2027. Pada masa itulah kemungkinan mereka akan terdeteksi karena sduah ada penyakit infeksi oportunistik.

Yang menjadi persoalan besar adalah di Indonesia tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Bandingkan dengan negara lain yang mempunyai sistem untuk mendeteksiHIV/AIDS (Lihat Tabel).

1330868901809690188
1330868901809690188
Seperti halnya pada langkah pertama, yang menjadi persoalan besar adalah: Bagaimana mekanisme untuk mendeteksi ibu rumah tangga yang mengidap HIV? Ternyata tidak ada!

Maka, tujuh langkah yang akan dijalankan pemerintah untuk mencapai ‘Indonesia bebas insiden infeksi HIV baru pada tahun 2015’ hanyalah jargon yang tidak membumi karena tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penularan HIV. Langkah itu tidak menyentuh penanggulangan di hulu, tapi hanya penanggulangan di hilir. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun