Tanggapan terhadap epidemi HIV yang mulai menyentak ‘bak orang kebakaran jenggot’. Salah satu bentuk tanggapan dalah membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Celakanya, dari 43 Perda AIDS yang ada di Indonesia tidak satu pun yang menawarkan cara-cara pencegahan HIV yang konkret. Pemkot Medan sibuk pula merancang Perda AIDS. Dilaporkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Medan mencapai 2.535. Sayang, dalam Ranperda AIDS Kota Medan itu pun tidak ada langkah atau cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV.
Walikota Medan Drs Rahudman Harahap, MM, selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Medan melalui Wakil Ketua I, Drs H Farid Wajedi, mengatakan: "Sekarang penularannya tidak saja bagi kalangan berisiko tinggi, tapi juga sudah sampai ke ibu rumah tangga hingga anak yang tidak berdosa. Tanpa penanganan terpadu, masalah ini tidak akan tuntas." (HIV dan AIDS Masalah Besar,Harian “Analisa”, 18/2-2011). Pernyataan ini mengandung mitos dan tidak akurat.
Pertama, kalau kalangan berisiko tinggi yang dimaksud adalah pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, jalanan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) maka ada fakta yang luput dari perhatian. Fakta itu adalah terkait dengan laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK justru penduduk Medan, asli atau pendatang, yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, remaja atau duda. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/tanggapan-terhadap-rancangan-perda-aids-kota-medan/).
Kedua, selanjutnya PSK yang sudah mengidap HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki ‘hidung belang’ yang mengencaninya tanpa kondom. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular HIV dari PSK ada yang sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, remaja atau duda. Mereka ini pun kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga merupakan konsekuensi logis dari perilaku seksual laki-laki di Medan baik yang tertular di Medan maupun di luar Medan atau di luar negeri. Fakta berupa kasus HIV/AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/07/raperda-aids-kota-medan-penanggulangan-di-awang-awang/).
Fakta ini juga memupus anggapan yang mengatakan sosialisasi kondom akan mendorong orang melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Laki-laki yang menjadi suami istri-istri yang terdeteksi HIV itu tertular HIV karena tidak memakai kondom.
Ketiga, dalam pernyataan Wali Kota disebutkan ‘hingga anak yang tidak berdosa’. Pernyataan ini tidak akurat karena tidak ada kaitan antara dosa dan penularan HIV. Ini juga akan mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mengesankan mereka sebagai pendosa. Seorang pastor di Kota Batam, Kepri, selalu menolak menerima orang-orang yang datang memberikan pengakuan untuk pengampunan dosa karena tertular IMS (penyakit kelamin) atau HIV/AIDS.
Satu hal yang selalu menjadi patokan semu di banyak daerah adalah lokalisasi pelacuran. Jika tidak ada lokalisasi pelacuran maka penguasa di daerah itu menepuk dada karena menganggap di daerahnya tidak ada pelacuran. Ini semu karena praktek pelacuran terjadi dalam berbagai bentuk terutama yang menyangkut dengan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.). Di Prov Sulawesi Selatan dikabarkan PSK tidak langsung mendorong penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).
Jika materi yang dibicarakan pada Workshop Advokasi dalam Rangka Ranperda HIV dan AIDS Kota Medan itu tidak bertumpu pada fakta medis tentang HIV/AIDS maka Perda itu pun kelak tidak akan berbeda dengan perda-perda yang sudah ada. Ya, hanya sebagai copy-paste dari perda lain.
Disebutkan pula, Walikota Medan mengatakan: “Medan berpotensi penyebaran HIV dan AIDS, karena posisinya sebagai ibukota provinsi, tapi juga berdampingan dengan negara tetangga yang juga tidak bebas dari HIV dan AIDS. Arus lalu lintas orang dari dan ke luar negeri baik jalur darat, laut dan udara tidak sangat tinggi sehingga potensi infeksi HIV dan AIDS sulit dibatasi.” Ini merupakan salah satu bentuk penyangkalan. Bagi negara-negara yang berbatasan dengan Medan pun menganggap bahwa mereka berisiko karena kasus HIV/AIDS ada di Medan. Di negara yang tidak menjadi jalur perjalanan pun, sepertiArab Saudi, pun kasus HIV/AIDS tetap ada. Arab Saudi sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Karena salah satu faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV adalah hubungan seksual yang berisiko, maka dalam perda perlu ada pasal yang bisa mengerem perilaku berisiko yaitu: “Setiap orang diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kota Medan atau di luar wilayah Kota Medan serta di luar negeri dengan pasangan yang bergati-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, jalanan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.”
Jika workshop tidak bisa menghasilkan pasal-pasal yang konkret, maka lagi-lagi Perda AIDS Kota Medan kelak tidak ada bedanya dengan perda-perda yang sudah ada. Mubazir. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H