[caption id="attachment_227922" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Persda Network/Bian Harnansa)"][/caption]
Berita “Panglima TNI Yakin 144 Anggota TNI Pengidap HIV/AIDS Bisa Sembuh" di “detiknews.com” (13/08/2010) menimbulkan pertanyaan yang sangat mendasar karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit AIDS.
Dalam berita disebutkan “Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso yakin 144 anggota Kodam XVII Cendrawasih yang positif mengidap HIV/AIDS bisa sembuh.” Ada pula kutipan pernyataan panglima: “ …. Orang yang menderita HIV/AIDS bisa disembuhkan.”
AIDS bukan penyakit, tapi istilah yang disepakati yang merujuk ke kondisi seseorang terkait dengan infeksi HIV, sehingga tidak bisa disembuhkan. AIDS adalah kondisi pada fisik dan kesehatan seseorang yang sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun. Kondisi ini ditandai oleh lebih dari 70 macam penyakit, disebut sebagai infeksi oportunistik.
Perrlu diingat bahwa dari 144 prajurit TNI di Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV tentu ada yang baru tahap HIV-positif dan sebagian lagi sudah mencapai masa AIDS. Kondisi ini tidak muncul dalam pemberitaan media massa sehingga ada kesan semua sudah masuk masa AIDS. Pengobatan yang ada sekarang adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Pemakaian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV, tapi ada ketentuan lain yaitu CD4 (CD4 adalah gambaran sistem kekebalan tubuh seorang Odha yang diperiksa di dalam darah melalui laboratorium) ybs. Sudah di bawah 300. Sedangkan pranykit-penyakit yang muncul setelah masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, sepreti diare, TB, sariawan, dll. bisa diobati.
Dalam berita juga tidak disebutkan bagaimana cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya. Jika kasus-kasus ditemukan melalui survailans tes HIV maka kasus yang terdeteksi bisa positif palsu (tidak ada HIV di dalam darahnya) atau negatif palsu (ada HIV di dalam darah tapi tidak terdeteksi). Survailanas tes HIV yang memakai reagen ELISA, misalnya, tidak bisa mendeteksi antibody HIV di dalam darah secara akurat pada masa jendela (di bawah tiga bulan setelah tertular HIV) sehingga hasilnya bisa positif palsu atau negatif palsu.
Jika Kodam Cenderawasih mendeteksi HIV di kalangan prajurit melalui survailans maka kasus-kasus negatif harus menjadi perhatian karena bisa jadi ketika mereka dites pada masa jendela. Mereka dianjurkan untuk menjalani tes tiga bulan berikutnya dengan catatan mereka pernah atau sering terpapar dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai.
Untuk meningkatkan efektivitas survailans perlu dilakukan konseling sebelum dan sesudah tes. Pada konseling sebelum tes mereka diberikan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Satu hal yang perlu ditanya adalah: Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko? Kalau di bawah tiga bulan maka tidak perlu menjalani tes karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu. Begitu pula dengan di unit-unit transfusi darah PMI tidak ada pertanyaan “Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko?” sehingga ada kemungkinan donor berada pada masa jendela.
Di bagian lain disebutkan: Djoko menuturkan, TNI menyusun rencana 5 tahun untuk penanggulangan HIV/AIDS. Kegiatan itu yakni penyuluhan, komunikasi dan edukasi. Informasi yang akurat tentang HIV/AIDS merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan epidemi HIV. Dengan catatan materi yang disampaikan adalah fakta medis tentangHIV/AIDS. Soalnya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Indonesia selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
HIV adalah fakta medis. Artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Tapi, pencegahan yang dikedepankan di Indonesia adalah moral dan agama sehingga penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari banyak orang.
Disebutkan pula: “144 Anggota Kodam XVII Cenderawasih positif mengidap HIV/AIDS karena sebagian besar terjangkit melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Ini salah satu bentuk mitos yang sudah melekat sebagai jargon di negeri ini. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ (jika ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina) dengan penularan HIV. Prajut-prajurit itu tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah mengidap HIV. Ini fakta. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap H IV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau slatu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan zina dan tanpa kondom. Ini juga fakta.
‘Berganti-ganti pasangan’ bukan penyebab tertular HIV tapi merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkiinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika sanggama dengan pekerja seks karena mereka mempunyai ‘pelanggan tetap’. Mereka menganggap tidak bersiiko karena tidak berganti-ganti. Tapi, mereka khilaf karena pasangan mereka itu, pekerja seks, berganti-ganti pasangan. Sayang, fakta ini tidak muncul dalam materi KIE sehinga banyak orang yang tidak memahami risiko terular HIV.
Selama para prajurit hanya diberikan wejangan dan materi KIE yang dibalut norma, moral dan agama maka selama itu pula akan (terus) terjadi penyebaran HIV. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H